Kopi dingin dan hujan dini hari

Saung itu juga hasil kerja bersama teman-teman komunitas dan warga sekitar, malu jika aku mengaggap itu adalah jawaban dari persoalan tempat belajar yang Bang Tama persembahkan kepadaku. Namun demikian bolehkah aku menamakan saung ini "Taman Baca Kita"? Iya, kita... kita semua, tapi kalau kamu mau mengartikan kata "kita" sebagai aku dan kamu aku juga tidak keberatan kok.
Kopi dingin dan hujan dini hari

Segelas kopi menemaniku menunggu Bang Tama pulang kerja malam ini. Hujan seperti sengaja menambah gelisah mengingat jalanan Babelan yang rusak dan licin saat hujan. "Semoga bapak baik-baik saja yah nak" gumamku sambil mengelus perut yang berisi buah cinta kami.

Kalau mau diceritakan tentang hal termanis yang masih terus teringat tentang Bang Tama, mungkin itu adalah saat pertama kali aku perbolehkan Bang Tama mengantarku pulang. Iya, sudah beberapa kali dia menawarkan diri untuk mengantarku, tapi entah kenapa aku tidak mengizinkannya, hingga malam itu.

Ya, malam itu, malam saat langit Babelan sepertinya sedang bersekongkol dengannya. Gerimis yang tiba-tiba datang membuat satu persatu kawan seperjalananku pulang meninggalkan aku. Tanggung jawab sebagai panitia membuatku tidak bisa meninggalkan rapat-rapat penting seperti kawan yang lain. Aku rasa semua pun demikian jika tidak memiliki agenda acara yang bentrok.

"Tau gak apa yang bikin abang suka ama rapat-rapat yang kayak tadi Ros?" tanyamu membuka obrolan.
"Apaan bang?" tanyaku.
"Bisa ketemu Rosmah lah"
"Apaan? gak kedengeran bang" balasku pura-pura tidak mendengar dan ingin memastikan apa yang barusan kudengar.

"Cuma dalam rapat abang bisa ketemu eneng, rapat semalem suntuk ge ora ngapah-ngapah abang mah asal ada Rosmah ikutan rapat" jawabmu sambil tertawa.

Kemudian perjalanan menuju rumah terasa sangat cepat sekali, aku masih ingin berboncengan ketika motornya berhenti karena sudah sampai di rumahku.

"Makasih yah bang, kapan-kapan boleh dah mampir, kalo sekarang mah udah malem, gak enak ama tetangga, dah yak, assalam mualaikum" potongku cepat dan berbalik menuju ke rumah.

Hari-hari berikutnya waktu terasa berjalan lambat, kuliah seakan hanya menghitung hari, senin, selasa, rabu, kamis, alhamdulillah sudah jumat, besok aku bisa bertemu lagi dengan Bang Tama. Walaupun hampir tiap waktu luang kami selalu bertukar sapa di WhatsApp dan Facebook, namun tidak ada yang bisa menggantikan pertemuan langsung.

-----

Sabtu malam Minggu 15 April 2017, aku kembali bertemu Bang Tama dalam rapat terakhir dan persiapan gladi bersih acara milad komunitas kami yang pertama. Semua anggota berkumpul untuk berdoa bersama. Seluruh panitia hadir dalam suasana serius tapi santai, canda penuh keakraban mengisi acara tumpengan di aula gedung Karang Taruna Desa Babelan Kota malam itu.

"Tam, Rosmah bantu-bantu bagian konsumsi juga yah? Kayaknya temen-temen bakalan kerepotan nih ngurus konsumsi tamu" kudengar bang Raihan seakan meminta izin kepada Bang Tama.

"Tanya langsung orangnya dah, dia repot gak di seksi acara, tar gua bantuin juga dah ngurusin konsumsi tamu" kudengar Bang Tama menjawab cepat dan menatapku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Kemudian Bang Raihan dan teman-teman kembali mendiskusikan tugas-tugas panitia untuk acara besok.

Entah kenapa telinga ini sekarang lebih tajam menyimak apa saja kalau menyangkut Bang Tama. Seakan-akan telinga ini punya radar yang menyala kalau mendengar nama Bang Tama disebut.

Tapi kenapa pula Bang Raihan meminta izin ke Bang Tama?, jangan-jangan semua teman sudah tahu ada hubungan khusus antara aku dan Bang Tama. Padahal kami jarang sekali bertemu, paling hanya acara-acara tertentu dan yah acara di komunitas ini, komunitas yang telah mempertemukan kami.

----

Perhelatan Milad pertama organisasi kami berjalan lancar, ratusan tamu datang dan pergi dihibur dengan alunan musik dan suara Bang Andri Goden dan kawan-kawan dari Getah Bacang, band musik Betawi yang cukup ternama di Bekasi. 

Usai acara, rasa gembira dan bangga tentu saja kami rasakan karena acara besar pertama kami telah berjalan lancar dan sukses. Namun di balik kisah sukses selalu ada kisah kerja keras, keyakinan, keringat dan juga lelah. Kami semua belajar bersama dengan gembira, saling mengisi dan saling menumbuhkan, hal yang mungkin tidak akan aku dapatkan jika aku tidak ikut berorganisasi dalam komunitas.

Namun ada kejadian yang membuat aku kesal sebenarnya. Saat acara aku melihat Bang Tama ngobrol mesra dengan Maya yang hadir di acara. Aku gak melarang Bang Tama menemui siapa saja di acara, dan aku juga gak bisa melarang Maya untuk datang, tapi aku tidak suka saja melihat Bang Tama ngobrol dengan Maya. Apakah ini yang namanya cemburu?

Aku cerita sedikit yah tentang siapa Maya? 
Maya dulu adalah teman akrab Bang Tama, aku tahu dulu Bang Tama juga sering mengantar dan menjemput ke rumah Maya di Wates Kedung Jaya. Aku tidak tahu pasti bagaimana tapi aku dengar dari teman-teman bahwa selanjutnya mereka saling menjauh. Terakhir yang aku tahu Maya sudah keluar dari komunitas dan Bang Tama sepertinya juga sudah tidak pernah lagi ke Wates menemuinya. Dari seorang teman aku mendegar hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua Maya, mungkin faktor itu yang membuat Maya tidak pernah lagi berkumpul dengan kami dan akhirnya keluar dari komunitas. Mungkin saja sih, aku juga tidak begitu paham masalahnya.

"Dar, gua ke toilet dulu yak, ganti'in gua jaga stand konsumsi bentaran plisss" pintaku pada Asnidar.
"Ok, jangan lama-lama Mah, romannah tamu mingkinan banyak bae" jawab Asnidar.
"Gak, bentar doang ge' balik" jawabku sambil menuju Aula tempat penyimpanan persediaan konsumsi.
Aku lirik Bang Tama masih ngobrol dengan Maya, rasanya ingin cepat-cepat sampai ke Aula dan menangis sebebasnya. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, perasaanku kacau, tapi sengaja aku mengambil jalan yang bisa dilihat Bang Tama.

Benar saja, tidak beberapa lama Bang Tama sudah menyusul. Ah, biarkan saja dia melihat aku menangis, biar dia mengerti aku tidak suka melihatnya dekat dengan Maya lagi.

"Nah ini dia, dicari'in ke mana-mana enggak taunya ada di marih. Rosmah, dicari'in Asnidar tuh" bujuk Bang Tama.
"Oh jadi Abang ke mari cuman mau ngasih tau itu? Saya udah tau bang, bentar lagi ge' balik kalo udah tenang perasaan saya" ketusku.
"Romanah ada yang lagi purik, Abang temenin dah yak"
"Ora usah bang, bagen saya dewekan di marih, udah Abang duluan ajah tar saya nyusul"
"Ogah ah, Abang maunya di marih, nemenin eneng"
"Lah ntuh pan ada Maya di sonoh, Abang temenin Maya ajah gih" jawabku sambil pindah duduk menjauh dari Bang Tama yang duduk di sebelahku.
"Mayanya udah pulang, tadi sempet nitip salam buat Rosmah" jawab Bang Tama perlahan.
"Iya makasih, salam balik, abang ora nganterin bang? dulu kayaknya sering dah nganter jemput" jawabku sambil membersihkan air mata yang sudah mulai berhenti.
"Udah lama ora pernah lagi neng, Abang ama Maya udah temen biasa, udah yuk, nanti abang ceritain semua dah selengkap-lengkapnyah, sekarang mendingan kita ngurusin tamu aja dulu yuk" ajak Bang Tama.
"Masih ama Maya juga ora apa-apa bang saya mah, iya udah abang aja duluan, tar saya nyusul"
"Hmmm nti abang jelasin dah Mah, sekarang kita balik ke acara aja dulu, bareng ajah yuk"
"Udah Rosmah ora ngapa-ngapa, Abang duluan aja, saya belakangan"
Bang Tama akhirnya meninggalkanku sempat aku lihat dia mengangkat sekardus air mineral lalu kemudian pergi.

Aku memang pernah mendengar Bang Tama dan Maya tidak direstui oleh orang tua Maya, tapi aku masih tidak percaya Bang Tama bisa melupakan Maya secepat itu, mereka dahulu setahuku cukup akrab dan mesrah. Ah, mungkin benar, ini yang namanya rasa cemburu.

-----

Sekian waktu telah berlalu sejak acara Milad komunitas kami, kegiatan semakin banyak, aku dan Oliv dipercayakan mengelola Seksi Pendidikan, ini menarik, selain sesuai dengan jurusan kuliah, ini dapat menambah wawasan dan mengaplikasikan ilmu yang aku dapat semasa di kampus.

Hubunganku dengan Bang Tama juga semakin baik, kami sudah saling mengenal keluarga masing-masing. Bang Tama juga sudah semakin sering mampir ke rumahku.
"Bang, Seksi Pendidikan enaknya ngapain yak?" pancingku suatu waktu saat Bang Tama mampir sepulang kerja.
"Ngajar bocah SD ajah, sekalian praktek, biar kepake ituh ilmu PGSD di kampus" jawab Bang Tama bersemangat.
"Tapi di sekitar rumah susah ngumpulin bocah SD Bang, mau dikumpulin di rumah juga tempatnya sempit" kali ini aku utarakan sekalian niatku.
"Ya udah, nti abang coba kumpulin bocah deket rumah abang, kebanyakan sih masih keponakan" jawab Bang Tama seperti merencanakan sesuatu.

Aku tahu di sekeliling rumah Bang Tama memang suasana kekeluargaaannya masih kental, namun aku masih ragu soal tempat. Anak-anak pasti akan kurang leluasa kalau teras rumah Bang Tama yang digunakan untuk berkumpul dan belajar. Ah semoga ada solusi mengenai tempat belajar yang menumbuhkan dan membuat anak-anak leluasa berekspresi.

Tidak beberapa lama aku dengar kawan-kawan menggagas sebuah Taman Baca yang didirikan persis di depan rumah Bang Tama. Aku menduga ini pasti ada hubungannya dengan pembicaraan kami waktu itu. Tapi aku tidak dapat memastikannya, lagi pula itu adalah usul dari beberapa kawan yang terinspirasi dari TBM Rumah Pelangi Bekasi di Sukawangi.

Kopi dingin dan hujan dini hari

Saung itu juga hasil kerja bersama teman-teman komunitas dan warga sekitar, malu jika aku mengaggap itu adalah jawaban dari persoalan tempat belajar yang Bang Tama persembahkan kepadaku. Namun demikian bolehkah aku menamakan saung ini "Taman Baca Kita"? Iya, kita... kita semua, tapi kalau kamu mau mengartikan  kata "kita" sebagai aku dan kamu... yah aku juga tidak keberatan kok.

Dengan bantuan banyak pihak akhirnya komunitas kami memiliki sebuah saung yang salah satu fungsinya digunakan sebagai taman baca. Buku-buku dan alat-alat belajar sedikit demi sedikit mulai terkumpul, kekompakan dan solidaritas kawan-kawan semakin tampak, mimpi yang sepertinya mustahil kini sediki mulai mewujud dan membuatku harus menyambutnya dengan dedikasi dan keseriusan. Bukankah dari keterbatasan itulah lahir kreativitas? 

Aku jadi ingat potongan kalimat Tere Liye di buku – Negeri Di Ujung Tanduk [2003].
“Kau tahu, Nak, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya.
“Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasanya, jika kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh.”
Kalimat itulah yang aku tanamkan saat melihat anak-anak yang belajar di taman baca semakin banyak. Dari pelajaran sekolah, Bahasa Inggris dan belajar komputer mulai rutin kami laksanakan. Semoga anak-anak ini kelak akan menjadi intan-intan yang bertaburan, indah menghias kampungnya, Kampung Pangkalan, Desa Kedung Pengawas Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi.

---------------

Sabtu, 28 April 2018 dini hari. Gerimis masih belum mau reda. Masih menunggumu pulang sambil menikmati kopi dingin. "Yah semoga bapak baik-baik saja di jalan yah nak, amiin". []


Posting Komentar

No Spam, Please.