Opini Versus Fakta

Yang sulit itu adalah jika kita bertemu dengan orang-orang yang bukan saja tidak bisa membedakan mana fakta dan non-fakta, mana fakta mana opini, ini repot. Saat berhadapan dengan orang yang yakin opininya adalah fakta, mereka juga akan memandang opini kita sebagai fakta yang sedang dipaksakan ke dalam pikiran mereka. Karenanya orang-orang demikian akan sulit menerima opini orang lain, karena ia terlanjur mempercayai bahwa opini dia itu adalah fakta yang derajat kebenarannya sudah terverifikasi, minimal dalam pikirannya.
Opini Versus Fakta

Pada saat saya sedang iseng menulis dumelan sepeti sekarang ini, saya akan banyak membaca bahan untuk referensi. Nah saat sedang membaca bahan itu, selalu saya ingatkan diri saya sendiri "bedakan Opini dengan Fakta". Padahal Opini hanya sebagian kecil dari yang selain fakta. Jadi mustinya saya mengingatkan diri saya "bedakan mana fakta dan yang bukan fakta". Karena yang bukan fakta banyak macamnya, diantaranya adalah opini, analisa, isu, persepsi, prasangka, dugaan, fitnah, hoax, khayalan dlsb.

Dengan memasang rambu seperi itu saja saya masih kesulitan untuk membedah berita di media masa kini. Karenanya saya kadang membiarkan saja diri saya ikut dalam alur berita yang saya baca lalu memeriksa kemana arah berita itu ingin membawa saya. Gak lain, kebanyakan memainkan perasaan agar logika tertutup emosi, pantas saja banyak banyak yang tersulut emosinya lalu mengabaikan fakta-fakta dan tergiring opini si pembuat berita. Itu opini saya saja, bukan fakta yah :)

Kembali ke dasar, Fakta dan opini itu apa dan bagaimana memilah fakta dan bukan fakta.

Kalo kata Wikipedia: fakta (bahasa Latin: factus) ialah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia atau data keadaan nyata yang terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. Catatan atas pengumpulan fakta disebut data.

Sedangkan opini (Inggris: Opinion) adalah pendapat, ide atau pikiran untuk menjelaskan kecenderungan atau preferensi tertentu terhadap perspektif dan ideologi akan tetapi bersifat tidak objektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian.

Teorinya sih begitu, prakteknya susah ngebedainnya.

Saya pernah baca bahwa salah satu keuntungan menulis adalah kita akan terbiasa membedakan mana fakta dan opini, karena dengan menulis kita akan terlatih untuk berpikir objektif dalam mengumpulkan bahan-bahan referensi dan menilai bahan-bahan tersebut, apakah sesuai konteks atau tidak dan seterusnya. Jika kemudian ditambahkan unsur-unsur bukan fakta sebagai bumbu tentu tergantung apa yang sedang ditulis, penulisan berita oleh jurnalis sudah pasti (idealnya) mengutamakan obyektifitas.

Yang sulit itu adalah jika kita bertemu dengan orang-orang yang tidak bisa membedakan mana fakta dan non-fakta, mana fakta mana opini, ini repot. Saat berhadapan dengan orang yang yakin opininya adalah fakta, mereka juga akan memandang opini kita sebagai fakta yang sedang dipaksakan ke dalam pikiran mereka. 

Karenanya, orang-orang demikian akan sulit menerima opini orang lain, karena ia terlanjur mempercayai bahwa opininya itu adalah fakta yang derajat kebenarannya sudah terverifikasi, minimal dalam pikirannya sendiri. Padahal opini yah tetap saja opini yang bersifat subyektif dan boleh diterima atau tidak. 

Gak ada paksaan untuk setuju atau tidak pada sebuah opini.

Karena opini bersifat subyektif, maka saat dipercaya sebagai fakta maka yang ada adalah ketegangan tidak berkesudahan, seperti orang yang bertengkar mengenai sambel, yang satu yakin pedas yang satunya hanya menganggap biasa saja karena ia suka pedas dan terbiasa dengan makanan pedas. 

Sambel yang terbuat dari cabai dicampur bawang, terasi, gula dan bahan lainnya itu adalah fakta, soal pedas atau tidak adalah opini yang bersifat subyektif, karena sangat tergantung preferensi masing-masing pihak mengenai rasa pedas. Sulit mendamaikan kedua orang ini jika salah satu dari mereka meyakini bahwa rasa pedas pada sambel itu adalah fakta absolut pada semua sambel.

Bagaimana dengan pertanyaan “apakah 2 + 2 = 4?” atau “apakah tanaman dapat tumbuh tanpa oksigen?” atau “apakah air akan menguap jika dipanaskan?”, jawaban pertanyaan-pertanyaan semacam ini jelas bersifat objektif dan merupakan fakta. Fakta adalah hal yang wajib diketahui untuk menjawab pertanyaan jenis ini.

Tapi untuk pertanyaan dari pasangan Anda, semisal; “Aku cantik gak kalau pakai baju itu?” atau “Masakanku enak atau tidak?” atau “Tetangga baru kita itu sombong yah?”, jawaban untuk pertanyaan jenis ini akan bersifat subjektif yang bersifat opini. 

Akan menjadi masalah jika salah satu dari yang terlibat dalam percakapan itu menganggap bahwa jawabannya adalah fakta. Tidak percaya? 
Silahkan coba tanyakan hal-hal seperti ini pada pasangan Anda. Risiko anda tanggung sendiri :)

Apakah sudah terjawab pertanyaan "bagaimana memilah fakta dan bukan fakta"?
Jika belum...
Mari kita bertemu, menikmati kopi bersama dan membicarakan hal lain yang indah-indah dan lupakan tulisan ini :D

#NulisRandom2017 

2 komentar

  1. Kadang ane kesulitan membedakan fakta dan opini dari berita di media.
    Kadang merasa gila karna ane menghargai kemungkinan-kemungkinan. Kadang ane tanem dalam diri nunggu waktu yg jawab aja hahaha
    1. Yah sebisanya aja memilah mana opini penulis berita mana fakta berita biar gak terbawa opini si penulis berita :)
No Spam, Please.