Kehilangan Terbesar [Cerpen]

“Akan kuceritakan sebuah kisah, mungkin menjelaskan pentingnya yang hidup dan yang mati. Atau mungkin kebingungan yang membedakan keduanya.” 

“Silakan. Dan mungkin aku akan menyimak.”

Kehilangan Terbesar [Cerpen]

Selama enam puluh sembilan tahun kehidupannya, Surya Wicaksono merasa telah mendapatkan semuanya, kecuali satu hal yang tertinggal: ia ingin melakukan perjalanan ke Alexandria hingga Madinah. Di usia remaja ia tumbuh sebagai anak yang menguasai matematika dan mendapatkan pekerjaan dengan mudah sebagai teknisi sistem keamanan di sebuah perusahaan Komputer. Karirnya menanjak dengan cepat dan pendapatannya setara menteri pada usia dua puluh enam. Ia menikah di masa kuliah, dan mereka diberi dua anak yang berbakat di musik dan teknik arsitektur. Kehidupannya berjalan seimbang dan sejahtera.

Ia mendapat promosi setiap setahun-dua tahun, mendapatkan unit usahanya sendiri, dan terlibat dalam inisiasi publik penggalangan dana untuk para penderita Kanker. Surya Wicaksono dikenal luas sebagai seorang teknokrat, penemu, pakar manajemen, pembicara, dan inovator senior setelah usianya melewati tiga puluh. Ia mendapatkan penghargaan tingkat Asia untuk pengembangan peranti lunak toko-toko supermarket, manajemen parkir elektronik dan sistem antrean rumah sakit. Ia mengantongi 92 paten di bidang informatika dan teknologi digital, mengisi ratusan seminar bertiket mahal dan menjadi bagian dari think tank pertahanan nasional yang dibentuk pemerintah.

Kebahagiaan lain seorang Surya Wicaksono juga terletak pada kesempatan yang diraihnya untuk melindungi keluarganya, menghidupi kecintaannya. Anak-anaknya tumbuh produktif dan penyayang, memegang teguh kepercayaan keluarga dan membuat iri banyak tetangga. Istrinya, yang menemani perkembangan karirnya sejak masa sulit dan tahap-tahap kemapanan awalnya, menjadi penyeimbang setiap kegeraman dan menjadi pengendali setiap pikirannya. Seorang istri menyempurnakan kehadiran suami di depan publik, dan itulah yang didapatkan Surya. Hampir ke semua kunjungan luar negeri ia ditemani. Di setiap acara dalam negeri ia didampingi. Kecintaannya berbicara membuatnya dikenal tak hanya sebagai pemikir, tapi juga pencinta. Seorang istri yang mendamba, mempercayai, dan tanpa banyak bertanya. Yang mengorbankan pencapaiannya sendiri demi menyimak hal-hal yang dicintai keluarganya. Surya tak bisa menghitung jika ia harus mengukur semua pemberian dan kelapang-dadaan seperti itu. Kehidupan menanjak dan keberhasilannya tak terlepas dari dukungan tanpa henti, dan cinta tanpa batas.

Tapi satu hal yang belum Surya raih, keinginannya melakukan perjalanan, perziarahan kuno melewati Alexandria menuju tanah suci Madinah. Ia mengumpulkan banyak buku geografi, demografi, catatan perjalanan serta foto-foto penemuan antara dua kota kuno. Ia membeli suvenir mahal dari kedua kota dari teman-teman yang pernah singgah, dan atau dari perjalanannya sendiri yang hanya sebentar. Beberapa mimpi membisikinya tempat-tempat suci yang rahasia. Setiap habis bermimpi hatinya membuncah. Tidak, kunjungan ke kedua kota haruslah bermakna, dan ia ingin perziarahan itu menandai pencapaiannya dalam hidup berdekade, serta kepercayaannya pada Penciptaan Yang Agung. Ia menunjukkan ke orang-orang bahwa setiap orang harus punya satu impian paling besar, mimpi pamungkas, yang bisa dan hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup, dan dalam keadaan mengorbankan segala-galanya. Keinginan mendalam dan tak biasa itu menghantuinya tahun-tahun belakangan, hingga banyak kolega menaruh perhatian padanya. Tapi Surya Wicaksono tidak sempat menggapai itu. Leukimia menjeratnya di pembaringan selama tiga bulan sebelum meninggal dengan tenang.

“Pria yang malang.”

“Tunggu sampai kau dengar cerita kisah yang lain.”

“O? Baiklah.”

Gendhis Hayu Linungit adalah seorang pengasih. Keluarga yang berakar pada desa mengajarkannya bahwa manusia adalah tanggung jawab manusia lainnya. Kehidupan adalah bagian dari kehidupan lainnya. Gendhis lahir dan tumbuh dalam kungkungan nilai tradisi yang begitu menghargai simbol-simbol hidup, kesejahteraan jauh berbeda dengan kekayaan, seperti ketidak-punyaan tidak menandakan kemiskinan. Orang tua adalah segala-galanya bagi Gendhis. Akan tetapi di beberapa nilai yang menemaninya berkembang, ia merasa perlu mengikuti kata hatinya dan meninggalkan tradisi tua yang tak lagi bermakna. Gendhis berpikir bahwa pemikiran orang tua tak lagi berimbang dengan anugrah pemikiran yang diwariskan pada dirinya, maka ia meninggalkan rumah. Meski keluarga memberi semua kebebasan bahkan tanpa diminta, Gendhis tetap merasa, jauh dalam pemikiran kelamnya, bahwa kebebasan sejati ada di luar sana, sesaat setelah ia melintas keluar pagar dan melewati sebuah jembatan di tempat jauh.

Zaman mengajarkan bahwa perjalanan manusia melalui tahap-tahapan berat yang membentuk sifat dan karakter, cara hidup serta kesukaannya. Gendhis di usia remaja mempelajari evolusi semacam itu, mempelajari perputaran bintang-bintang sama pentingnya dengan pemahaman tentang perjalanan nenek moyang manusia. Saat dewasa ia mengajarkan itu kepada banyak orang, dan institusi-institusi pendidikan menghargai makalah-makalahnya yang berbicara tentang nilai masa kini manusia jauh lebih penting dari mahligai berkilau zaman es atau era pencerahan. Gendhis seorang saintis sekaligus spiritualis, menganggap bahwa jurang antara sains dan agama sesungguhnya merupakan jembatan yang tak tampak, dan manusia berakal mesti punya bentuk titiannya sendiri-sendiri. Ia adalah seorang katarsis, pembelajar masa lalu dengan karakter futuristis.

Semua orang mengira dalamnya pemikiran simbolis Gendhis menjauhkan dirinya dari lingkungan peradaban manusia yang serba-datar, lazim dan normal-biasa. Tapi kekuatan Tuhan yang dipercayainya menunjukkan bahwa bahkan stigma seorang saintis yang galau dan penyendiri juga bisa salah. Ia menemui pasangan hidupnya di usia duapuluh enam, dan membangun keluarganya dengan sangat pelan bertahun-tahun kemudian. Dunia baru bernama “kehidupan berkeluarga” memeriahkan isi pikiran dan hatinya, membawanya mengenali dirinya sendiri dan mengukur mutasi manusia dari masa-ke-masa yang dipengaruhi oleh proses reproduksi dan tumbuh-kembang generasi.

Di depan anak-anaknya ia tak membahas ini, tentu saja, tapi dinding kamar kerjanya ditempeli banyak kemeriahan saintis bahwa seorang perempuan matang, sejauh apapun ia melangkah, akan tetap membawa lantai dan atap rumahnya. Seperti Hawa dengan kelengkapan fisiologisnya yang bertahan di zaman ini. Akan tetapi penemuan katarsis berikutnya membawa pemahaman Gendhis bahwa nilai luhur seorang perempuan, bagaimanapun, tidak banyak berubah. Tradisi dan norma spiritual berseberangan namun berjalan beriringan. Ia memahami perempuan sebagai penyebab kehadiran manusia, penyeimbang cerita-cerita dari masa ke masa, dan penyebut di banyak folklor suci yang diwariskan ke generasi-generasi penerus.

Gendhis memahami kodrat yang dianggap semu dan stigmatis, tetapi lalu menyadari bahwa bahkan dirinya tak bisa mengelak dari kehendak dunia. Ia mengalahkan egonya kemudian menghentikan semua penelitiannya. Sebagai seorang istri, ia meninggalkan kesenangannya. Sebagai istri, ia akhirnya mengabdi, membawa dirinya pada tingkatan yang sama dengan banyak perempuan pintar di muka bumi: lantai keluarga.

Gendhis merasa kehilangan duapuluh tahun hidup masa depannya ketika memutuskan berhenti meneliti dan mengikuti semua aliran di keluarganya. Ia merasa kehilangan peluangnya meniti karir karena menyerahkan jiwa-raganya dalam kebersamaan penuh pada suaminya. Ia mengabaikan godaan harta berlipat dan jabatan bertingkat karena menyadari bahwa anak-anak yang ditemani tumbuh adalah segala-gala penerus dan penyambung hartanya.

Gendhis melucuti semua tempelan di kamarnya, melipatnya rapi dan menyusunnya dalam katalog yang dikunci dalam peti. Tak ada marka khusus di sana, kecuali tulisan tangannya yang berbunyi: Aku menyerahkan semuanya.

“Sekarang, pertanyaannya….”

“…”

“Mana di antara dua orang dari dua kisah tadi, yang mengalami kehilangan terbesar?”

“Apa maksudnya? Kedua kisah tadi?”

“Ya. Dari dua orang berbeda. Siapa yang kehilangan paling banyak? Apakah Surya Wicaksono yang menempuh puluhan tahun hidupnya, mendapatkan semua yang diinginkannya tetapi gagal mewujudkan impian terbesarnya? Ataukah Gendhis Hayu Linungit yang menyerahkan diri dan karirnya pada pengabdian ‘keluarga’?”

“Apakah ini perhitungan matematis?”

“Kalau kau mau menganggapnya begitu. Katakanlah, siapa yang kehilangan di atas 70 persen, Surya, atau Gendhis?”

 “Kehilangan apa?”

“Kehilangan dunianya, tentu saja.”

“Gendhis tidak kehilangan dunianya hanya karena menyerahkan pengabdian pada keluarganya.”

“Mungkinkah begitu? Tapi bukankah ia kehilangan peluang? Kita hidup beriringan di atas dunia, tapi ceritaku adalah ceritaku, dan ceritamu adalah ceritamu. Bukankah dengan mengabdi, seorang perempuan merelakan separuh jiwa dan hak hidupnya pergi menghilang?”

“Mungkin benar. Tapi volume perasaan yang dihadapinya tidak mungkin berkata demikian. Perubahan selalu memunculkan rasa syukur. Gendhis mungkin tidak merasa mengorbankan apapun.”

“Tapi banyak perempuan, ibu lainnya, bukankah begitu?”

“Dalam pemahaman duniawi, iya.”

“Berarti dia yang kehilangan paling besar?”

“Belum tentu. Belum tentu.”

“O, jadi menurutmu Surya yang kehilangan dunianya paling besar?”

“Kenapa? Karena ia tidak menunaikan keinginan luhurnya berziarah?”

“Kenapa tidak?”

“Kehidupannya penuh, pencapaiannya paripurna. Ziarah hanyalah serpihan kecil dari egonya. Keberhasilan hidupnya adalah soal bagaimana orang menghargai dirinya, bukan soal pendapatnya terhadap keberhasilannya sendiri.”

“Tapi bukankah ketenangan adalah saat seseorang meyakini dirinya telah melakukan semua yang diperlukan?”

“Benar.”

“Benar. Berarti tidak ada artinya bagi Surya, keberhasilan berpuluh-tahun hidupnya, jika ia tak bisa menghadiahi dirinya sendiri dengan pengalaman spiritual yang direncanakannya itu?”

“Hmmm….”

“Bukankah setiap orang mengejar kebahagiaan batin? Melebihi kemenangan citra kehidupan diri? Pandangan orang terhadap diri?”

“Iya. Benar. Tapi tidak berarti pencapaian hidup seorang Surya lantas tidak ada artinya?”

“Lalu apa gunanya keyakinan kalau tidak bisa diwujudkan?”

“Apa bagusnya kenyataan kalau tidak sesuai keyakinan?”

“Persis.”

“Antara ada dan tiada. Antara yang semu dan yang nyata. Aku menyerah. Aku tidak tahu mana dari mereka yang kehilangan paling besar. Surya mendapatkan dunianya tetapi tidak mendapatkan satu hal yang paling berharga. Gendhis merelakan dunianya dan menyerahkan kebersamaan yang memberi makna. Gambaran ini terlalu sumir. Nasib dan perjalanan manusia sering kali tidak dibenturkan dengan gambaran-gambaran abstrak ataupun simbol-simbol. Semuanya berupa garis lingkar yang terdiri dari jutaan titik. Dan setiap titik punya artinya sendiri-sendiri. Entahlah, mungkin pada akhirnya tidak ada manusia sial dan manusia yang benar-benar berhasil. Volume pemikiran dan besaran keyakinan mengukur seberapa beruntung seseorang dapat hidup atau mati. Dan dunia, yang menggambarkan penghidupan dan batasan kematian, mungkin melebihi pemahaman transendental dan atmosfer kehidupan berpuluh-puluh tahun sarat suka-duka. Pada akhirnya tiap orang punya ukurannya sendiri-sendiri. Lagipula, mengapa kau mengambil contoh orang-orang bernama Surya dan Gendhis ini? Apa hubungan keduanya?”

“Entahlah. Terakhir yang kukenal, mereka sepasang suami istri.” 

*****************

Eko Budi Santoso
TCM 94, Agustus 2016

4 komentar

  1. wow
    1. Semoga memancing elo Deb, nunggu cerpen-cerpen elo yang rada nyerempet distopia :)
  2. Bagus ceritanya.

    Gue tunggu yah cerita selanjutnya.
    1. Ok mas :)
No Spam, Please.