Soal Surat Edaran Ujaran Kebencian (Hate Speech)

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
Beberapa saat lalu kata "Surat Edaran" sempat ramai diperbincangkan setelah Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menerbitkan Surat Edaran Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Soal Surat Edaran Ujaran Kebencian (Hate Speech)Membahas soal Surat Edaran (SE) mari kita tengok Permendagri No. 55 tahun 2010 Pasal 1 butir 43 yang menjelaskan bahwa "Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak" - Kalau mau baca selengkapnya baca Permendagri tentang Tata Naskah Dinas. Masih banyak definisi lain dan pembahasan dari segi hukum mengenai SE silahkan baca: Bagaimana kedudukan Surat Edaran Menteri dalam sistem hukum Indonesia. (di Indonesia Kapolri setara dengan Menteri)

Kesimpulan yang saya dapat tarik setelah membaca beberapa artikel dan peraturan yang itu adalah: bahwa Surat Edaran (SE) lebih ditujukan kepada kalangan internal di bawah binaan/kewenangan si penerbit Surat Edaran (SE).

Mengenai isi Surat Edaran (SE) tersebut menurut saya juga tidak ada yang baru, semua merangkum tindak pidana dari peraturan perundang-undangan yang sudah ada, antara lain:
  • KUHP,
  • UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
  • UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,
Mungkin yang memancing ramainya komentar adalah poin di nomor 2 huruf h angka 3 yang mencantumkan Jejaring media sosial sebagai salah satu dari 7 media yang dapat digunakan untuk melakukan ujaran kebencian. Ini juga bukan hal baru, mengingat sudah banyak kasus yang berawal dari informasi di media sosial, baca deh kasus-kasus yang terangkum di Safenet. Mencantumkan Jejaring media sosial sebagai salah satu media yang dapat digunakan untuk melakukan ujaran kebencian menurut saya memang penting dibahas. Pengguna Media sosial di Indonesia per januari 2015 diperkirakan mencapai 72 juta (28%) dari perkiraan 255 juta penduduknya. Dari 72,7 juta pengakses internet, 72 jutanya adalah pengakses media sosial, hampir 100%! Tidak semua pengguna media sosial paham akan konsekuensi dari informasi yang disampaikannya, nah semoga Polri punya anggaran untuk mendidik para pengguna media sosial agar tidak melanggar hukum, sebagai upaya pencegahan (preventif) saya kira Kapolri pasti akan setuju... hihihihi #sotoy.

Saya paham kalau kontroversi SE ini karena mencantumkan UU ITE didalamnya, UU ITE sendiri yang "katanya" akan diamandemen sampai saat ini faktanya masih merupakan hukum positif, yang tetap berlaku sampai DPR-RI mengesahkan Perpu ataupun Amandemen UU ITE ini.

Yang menarik bagi saya, SE ini tidak mencantumkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menjadi momok bagi para netizen yang ingin mengkritisi pihak tertentu namun ada risiko kriminalisasi karena ancaman hukuman melebihi 5 tahun. Jangan-jangan ramainya netizen merespon SE ini karena dugaan SE ini mencantumkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, padahal yang dicantumkan adalah Pasal 28 terkait penyebaran berita hoax yang berpotensi menyebabkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu (SARA)...dst.

Sudah baca SE ini selengkapnya? baca di sini:

Bagaimana dengan "pencemaran nama baik" di poin nomor 2 huruf f angka 2? Merujuk poin nomor 3 huruf b "pencemaran nama baik dalam SE ini ditegaskan terkait Pasal 310 dan 311 KUHP yaitu:

Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP)*
Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.

Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)*
Menurut R. Soesilo sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.

Fitnah (Pasal 311 KUHP)*

Merujuk pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, sebagaimana perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri 310 ayat (3) KUHP. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).

Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah).

Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
(*Sumber: Hukum Online)

Bagaimana jika penghinaan atau pencemaran nama baik itu dilakukan dengan menggunakan informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE?

Hal pencemaran nama baik atau penghinaan kepada individu antar pribadi sepanjang tidak menyangkut 11  macam isu yang disebut dalam poin nomor 2 huruf g maka itu tidak diatur dalam SE ini, menurut saya karena SE ini lebih fokus pada ujaran kebencian terkait 11 macam isu/bidang sebagaimana secara jelas tertulis dalam poin nomor 2 huruf g yaitu: Suku, Agama, Aliran Kepercayaan, Keyakinan/Kepercayaan, Ras, Antar Golongan, Warna Kulit, Etnis, Gender, Kaum Difabel (Cacat) dan Orientasi Seksual. (cmiiw)
 
Setelah membaca lebih jauh mengenai SE ini, saya fine-fine ajah, justru saya cenderung setuju dengan adanya SE ini, dalam SE ini jajaran aparat Polri mendapat amanat agar mendahulukan upaya preventif daripada represif. Namun untuk pelaksanaannya... yah kita lihat saja :)

Salam.

7 komentar

  1. iya, sy jg lbh cenderung ke arah setuju,
    kritis sih boleh2 saja, asal punya dasar dan gk membabi buta
    1. Itu dia, kritik yang memiliki dasar, solusi, yang semangatnya untuk mencari kebaikan saya kira aman-aman saja.
  2. Kemarin sempat bingung melhat lalu lintas lini masa yang membahas hate speech ini. baca tulisan ini jadi sedikit paham, Om. Terima kasih banyak, meski tersendat-sendat memahaminya.
    1. :) sama-sama kak, tapi ini hanya opini sotoy ajah, belom tentu juga bener hihihihi
  3. saya kurang paham sama yang beginian, hehehehehhe
    1. Tapi yang namanya peraturan itu menganggap semua orang paham :)
  4. semoga dapat mengurangi ujaran kebencian
No Spam, Please.