sedikit tentang Cultuur Stelsel

Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) jelas memiliki tujuan utama untuk mengisi kas penjajah guna menutup defisit anggaran penjajah
Konon pada pertengahan tahun 1800 di Hindia Belanda (saat ini menjadi Indonesia), saat VOC terus menerus menderita kerugian, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch menerapkan beberapa kebijakan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk keberlangsungan VOC (Verenignig Ost Indische Compagnie) . Ya, van den Bosch (2-02-1780 – 28-1-1844) mengekstensifikasi kebijakan yang diambil pendahulunya yaitu Thomas Stamford Raffles.

Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) jelas memiliki tujuan utama untuk mengisi kas penjajah guna menutup defisit anggaran penjajah.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6dsBSzFd0kHBT_kp48FGsh3YfwbV_Xyxs9g3cvFPlAHq2leTarCLAgMl6gUXgdZ_VkgARZh_m6gk03OqhHU-mNkapRMXiZY2aZQMgq9ljh-Feqm3P5wsJfe4vqwUvza7L0Mf7wvBDQQ/s400/11.JPG
Gambar nyomot tanpa ijin dari blog mbak Hapsarikusumaningdyah.


Gagasan Cultuur Stelsel adalah turunan dari peraturan dari Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816), yang menerapkan sistem Landrente yaitu rakyat wajib membayar sewa tanah ke negara sebab semua tanah milik negara. Dari sistem adanya kewajiban sewa itulah van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa dengan alasan agar setiap wilayah mampu melunasi hutang pajak tanahnya. Bila pendapatan dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, wilayah itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, wilayah tersebut mesti membayar kekurangan hutang pajak tadi dari sumber-sumber lain.

Tampaknya secara sekilas Cultuur Stelsel datang menggantikan Sistem Landrente, padahal dua sistem ini sangat berkaitan dan merupakan bentuk yang lebih praktis dan taktis untuk menghisap kekayaan negara jajahan. Sistem Landrente memberi peluang bagi pemilik modal untuk menyewa tanah-tanah di wilayah jajahan, investor dapat memilih tanah-tanah yang ingin mereka "sewa" tanpa perlu persetujuan masyarakat yang sebenarnya memiliki tanah tersebut. Tidak ada hak milik atas tanah bagi masyarakat, semua tanah adalah milik mutlak pemerintah penjajahan.

Bedanya, pada masa Raffles (yang liberal dan banyak terpengaruh revolusi prancis) masyarakat diberi kebebasan untuk bertanam komoditi apapun dan kebebasan peruntukan penggunaan hasil usahanya sendiri. Para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam. Masyarakat hanya berkewajiban membayar sewa kepada penjajah. Hal yang demikian berakhir saat rezim van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa (Cultuur Stelsel) yang mewajibkan petani menanam komoditi tertentu untuk tujuan ekspor. Untuk lebih jauh mengetahui sistem, pembagian lahan, perhitungan dan seterusnya sila browsing lebih lanjut yah :)

Sistem tanam paksa yang diberlakukan sejak tahun 1830 secara resmi berakhir pada tahun 1870 (tetapi di beberapa daerah seperti Priangan baru berakhir pada awal tahun 1917). Walaupun sangat menguntungkan Belanda, seperti dalam sebuah laporan yang menyebutkan sejak tahun 1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan Kerajaan Belanda telah menerima 832 juta gulden, sistem tanam paksa tetap dihapuskan, setelah kemenangan golongan liberal di parlemen Belanda yang menentang pelaksanaan sistem tanam paksa yang dianggap menyengsarakan rakyat negara terjajah atau Era politik etis. --> sumber

Menarik mempelajari sistem-sistem ini, karena sejarah terus mengulangi dirinya sendiri, walau beda bentuk hakikatnya akan selalu dapat diambil benang merahnya. Coba teman-teman baca artikel Kiamat Ekologis di Aru, betapa sistem landrente ala Raffles masih berlaku dan sistem Cultuur Stelsel telah dimodifikasi sehingga sulit dikenali.


Tidak semua hasil penelusuran menceritakan tentang keburukan sistem tanam paksa, beberapa postingan dan artikel justru menampilkan sisi baik yang dapat dicapai dari hasil sistem tanam paksa, supaya berimbang ini salah satu posting mengenai efek positif sistem tanam paksa dalam Simpul Sejarah Pabrik Gula.

13 komentar

  1. katanya meski rafles tidak lebih lama daripada daendels, tapi lebih berat. *katanya lho ya* bener ga sih?
    1. jujur saja yah, saya gak tau karena belum lahir dan gak ikut merasakan, tapi kalau dari ilmu SOTOYLOGI dilihat dari trackrecord Daendels dan Raffles (mereka ini beda kubu loh), kayaknya saya gak setuju, Daendels itu mimpi buruk, beda dengan Raffles yang masih ada rekam jejak yg ber[restasi seperti membangun Pulau Tumasek menjadi Singapore untuk menekan Batavia milik VOC, membangun Kebun Raya Bogor dst. walupun sama-sama penjajah :)
  2. Ya, sejarah berulang meski beda topeng yang dipakai #eh :D Dilihat dari sejarah memang Raffles lebih sedikit berperikemanusiaan ketimbang yang lain ...
    1. seru belajar sejarah teh :) kejadian sekarang pasti sudah ada modelnya di masa lalu #sotoy
    2. iya, sudah ada mal -nya, tinggal cetak #eh :D
  3. Inggris memang lebih manusiawi walau jadi penjajah. Tapi sesungguhnya yang paling kejam adalah penjajahan oleh bangsa sendiri #SaveAru
    1. jleb banget kata-kata terakhirnya :)
  4. Dapet ilmu baru.. Makasih linknya..
    BTW bener juga kata Om Indobrad, penjajahan oleh bangsa sendiri lebih kejam. Pengulangan sejarah yang tidak sempurna hehe
    1. ;(( sedih karena yg mengulangi sejarah kelam ini bangsa sendiri om
  5. wah jadi nambah pengetahuan baru tentang sistem Cultuur Stelsel nih om :D *langsung baca link-linknya plus #saveAru
    1. :) sip siip di tunggu tulisannya tentang #SaveAru
  6. tadinya belum ngeh, kok kita masih belajar sejarah yah...walau terus terang harusnya kita sudah hapal kisahnya karena selalu diulang setiap jenjang pendidikan tapi ternyata penjajahan itu terulang tanpa kita sadari bahkan dilakukan oleh bagian bangsa ini sendiri...miris teriris ;( thanks link nya Oom, baru tahu
    1. saat ini di ambon sana, nanti akan terulang dengan lokasi yg berbeda tapi cerita yang sama om ;(
No Spam, Please.