Story of I Jingkiriq

Kisah I Jingkiriq dari sebuah buku bacaan bahasa daerah Makassar karya Ince Nanggong
Kisah I Jingkiriq dari sebuah buku bacaan bahasa daerah Makassar karya Ince Nanggong, yang umumnya berasal dari cerita rakyat folklore

Pada zaman dahulu kala terkabarlah seorang boto (peramal) ke setiap penjuru negeri, bahkan sampai ke istana raja. Boto itu berasal dari keluarga petani biasa. Karena pada masa kanak-kanaknya senang bermain jangkrik, oleh orang tuanya diberi areng dondo-dondo (nama kecil) I Jingkiriq (Si Jangkrik). 

Nama Jingkiriq ini melekat padanya hingga dewasa, namun setelah menjadi boto terkenal, nama Jingkiriq itu lenyap dari bibir masyarakat, bertukar dengan I Boto Tarrusuq (pleonasme, tarrusuq sinonim dengan boto). Walaupun nama I Jingkiriq hilang dari bibir masyarakat tetapi tidak hilang dari bibir I Jingkiriq, utamanya kalau ia berdialog dengan dirinya sendiri.



Malang tak dapat dielakkan, I Jingkiriq harus memperlihatkan kehandalannya di depan raja dalam istana. Permaisuri kehilangan perhiasan emas, intan berliannya. I Jingkiriq diberi waktu 3 hari untuk dapat mengembalikan perhiasan itu dan sekaligus membongkar siapa gerangan pelakunya.

Dengan hati kecut I Jingkiriq mendekam dalam kamar istana yang serba mewah yang diperuntukkan bagi I Jingkiriq selama 3 hari itu. I Jingkiriq merasa kecut karena ia sangat mengenal dirinya yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan meramal dan sebangsanya. Reputasinya di mata masyarakat sebagai Boto Tarrusuq diperoleh karena rekayasa yang lihai dengan bantuan kaki-tangannya yang cekatan.

Tatkala pelayan mengantarkan sarapan pagi, I Jingkiriq mendesah antara berucap dan berbisik berdialog dengan dirinya sendiri:

"Iyaminne makaseqreya (inilah yang pertama)", maksudnya inilah kesempatan hari yang pertama tinggal di kamar istana.

Keesokan harinya, ketika pelayan yang orangnya sudah berganti masuk ke dalam kamar, berdesah pula I Jingkiriq:

"Iyaminne makaruwaya (inilah yang kedua)".

Dan pada hari yang ketiga berulang pula desahan itu di depan pelayan yang ketiga:

"Iyaminne makatalluwa, taenamo ribokoanna (inilah yang ketiga, tidak ada lagi sesudahnya)", maksudnya inilah hari terakhir, tidak ada lagi hari sesudahnya, kecuali di dalam penjara.

Pada hari yang terakhir itu dengan keringat dingin mencucur di dahinya karena kecemasan, I Jingkiriq bersiap-siap menunggu penjemput untuk menghadap raja.

Mujur yang diraih I Jingkiriq, sebelum penjemput datang, tiba-tiba ketiga pelayan itu masuk ke dalam kamar dengan membawa bungkusan, duduk bersimpuh lalu bergantian mencium kaki I Jingkiriq. Maka mengakulah mereka dengan ucapan terbata-bata bahwa mereka bertigalah yang telah mencuri perhiasan itu. Mereka memohon kepada I Jingkiriq agar I Jingkiriq memohonkan ampun kepada Raja agar tidak dijatuhkan hukuman yang berat kepada mereka bertiga.

Rupanya perbuatan mereka itu telah menyebabkan beban pikiran yang tidak tertanggungkan karena takut dan was-was suatu saat akan terungkap ditambah pula kehebatan berita tentang I Boto Tarrusuq yang ahli meramal, sehingga mereka menafsirkan ucapan I Ijingkiriq dengan: Inilah (pencuri) yang pertama. Demikian pula tafsiran pencuri yang kedua dan yang ketiga. Pada hal I Jingkiriq hanya berdialog dengan dirinya sendiri.

Demikianlah, akhirnya bungkusan yang berisi perhiasan itu dibawa oleh I Jingkiriq menghadap raja. Betapa senang hati raja hingga banyak memberi I Jingkirik hadiah dan gelar kehormatan.

Malang tak dapat dielakkan, penasihat raja yang juga seorang boto, karena kuatir kedudukannya akan diganti oleh I Jingkiriq yang lebih profesional, mencoba mempengaruhi raja agar I Jingkiriq diuji sekali lagi. Akhirnya disusunlah sebuah ujian atas perintah raja. Maka masuklah seorang pelayan membawa kapparaq (dulang, baki dari perunggu) yang bertutup. Raja kemudian bertanya kepada I Jingkiriq mengenai benda di bawah penutup itu. Maka berucaplah I Jingkiriq dengan gaya seperti tadi menggumam dan berkeluh kesah:

"Indo'eh Jingkiriq, Jingkiriq, antekammamo nanukkulle lappasaq (Duhai jangkrik, jangkrik, bagaimana upayamu agar lepas). Seperti telah diceritakan di atas nama diri I Jingkiriq tidak dikenal dalam masyarakat. Setelah penutup diangkat, berlompatanlah lepas keluar sejumlah jangkrik, karena memang yang ditutup tadi itu atas petunjuk raja adalah jangkrik.

I Jingkiriq sadar bahwa pertolongan Allah atas dirinya itu berupa peringatan agar berhenti menjadi boto dan mencari lapangan kerja yang bersih dari penipuan. I Jingkiriq tidak bersedia menerima tawaran raja untuk mengangkatnya menjadi Boto Kerajaan, menggantikan kedudukan boto yang sekarang. Sudah ada boto yang cukup bijak, tolaknya dengan halus. Tidak lupa pula I Jingkiriq untuk memenuhi janjinya memohonkan ampunan keringanan hukuman atas ketiga pencuri itu. Raja pun memenuhi kedua permohonan I Jingkiriq. I Jingkiriq pulang ke desanya menjadi petani kembali.

Membaca kisah ini, saya teringat Film Nujum Pak Belalang yang diperankan Tan Ramlee, sebuah film klasik produksi Malaysia yang sangat populer di tanah melayu dan masih dapat ditemukan CD filmnya di sekitaran Riau Kepulauan.

Perlu rasanya kita menggali dan menganalisa lebih jauh mengenai orisinalitas folklore I Jingkiriq ini, apakah ia merupakan cerita rakyat milik kita?, atau sebuah kisah yang diadaptasi dari skenario film Pak Belalang produksi Malaysia di tahun 1959 itu?. Untuk hal ini, rasanya perlu klarifikasi dari para sesepuh dan budayawan Sulsel untuk menjawabnya.

Ini PR bagi kita blogger muda!

Reff:

Kolom Harian FAJAR bertajuk "Wahyu dan Akal, Iman dan Ilmu" oleh: H.Muh.Nur Abdurrahman. Makassar, 17 Juli 1994.

2 komentar

  1. Mujur dia, hingga bisa lepas dari istana .. :)
    1. iyye' ka niar hehehe, saya tertarik karena cerita ini sama dengan film pak belalang :)
No Spam, Please.