Masalah Perbarantin 05, Niat Baik Kebijakan Terbentur Realitas Lapangan

Badan Karantina Indonesia perlu merevisi PTK Online dengan menambahkan fitur-fitur yang berorientasi pada pengguna sebelum berlakukan Perbarantin 05

Menyibak Tabir Masalah Perbarantin 05: Ketika Niat Baik Kebijakan Terbentur Realitas Lapangan

Masalah Perbarantin 05, Niat Baik Kebijakan Terbentur Realitas Lapangan

Sebagai negara maritim dan salah satu pemain utama dalam perdagangan global, Indonesia terus berupaya menyempurnakan sistem logistik dan pengawasannya. Salah satu langkah terbarunya adalah dengan menetapkan Peraturan Badan Karantina Indonesia (Perba) Nomor 5 Tahun 2025. 

Regulasi ini, yang merupakan revisi dari Perba Nomor 1 Tahun 2024, memiliki tujuan mulia: menyelaraskan daftar komoditas wajib periksa karantina dengan standar internasional dan memperkuat pengawasan terhadap komoditas hewan, ikan, dan tumbuhan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan nasional. 

Namun, di balik ambisi besar tersebut, realitas di lapangan berbicara lain. Alih-alih memfasilitasi perdagangan, implementasi Perba ini justru menghadapi serangkaian kendala serius yang mengancam efisiensi dan daya saing bisnis, khususnya bagi para pelaku ekspor-impor. 

Lantas, apa saja Masalah Perbarantin 05 yang kini menjadi perbincangan hangat di kalangan dunia usaha?

Regulasi Baru yang Belum Siap Dijalankan

Indikasi paling jelas dari ketidaksiapan ini adalah penundaan resmi pemberlakuan peraturan. Perba 05/2025 seharusnya efektif mulai 21 April 2025, tetapi terpaksa ditunda melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 19/KM.4 Tahun 2025. Penundaan yang telah diberlakukan sejak 29 April 2025 sampai sekarang ini adalah pengakuan nyata bahwa infrastruktur, baik teknis maupun operasional, belum matang untuk menopang perubahan besar ini. 

Data yang muncul dari rapat koordinasi juga menunjukkan tanda bahaya yang sama. Tingkat registrasi komoditas oleh pelaku usaha masih sangat rendah. Tercatat, lebih dari separuh (50,3%) dari total 3.298 komoditas ekspor dan 54,8% dari 1.743 komoditas impor belum teregistrasi. 

Angka ini bukan hanya soal ketidakpatuhan, melainkan cerminan dari kompleksitas dan kesulitan yang dirasakan oleh pelaku usaha untuk beradaptasi dengan sistem baru.

Jebakan Sistem: Antara Digitalisasi dan Tumpukan Dokumen Manual

Pilar utama dari efisiensi seharusnya adalah sistem digital yang terintegrasi. Namun, dalam kasus Perba 05/2025, sistem yang ada justru menjadi sumber kendala utama. Platform Permohonan Tindakan Karantina (PTK) Online, yang menjadi gerbang bagi pengusaha, masih memiliki banyak kelemahan.

  • Prosedur Rumit: Pengusaha masih diwajibkan untuk melampirkan surat kuasa, bahkan untuk pimpinan internal perusahaan. Selain itu, dokumen yang sama harus diunggah berulang kali untuk setiap registrasi baru, sebuah proses yang memakan waktu dan tenaga. 

  • Fitur yang Terbatas: Sistem PTK Online tidak menyediakan fitur untuk merevisi dokumen yang sudah diunggah tanpa harus mengulang seluruh input dari awal. Hal ini sangat merepotkan jika ada kesalahan kecil dalam data. 

  • Ketiadaan “Master Dokumen”: Tidak adanya fitur yang memungkinkan penggunaan dokumen perizinan berlaku setahun secara berulang membuat pengusaha harus mengulangi proses yang sama secara berkala, menambah beban administrasi yang tidak perlu. 

Selain masalah internal PTK Online, koordinasi antarlembaga juga masih menjadi PR besar. Harmonisasi Kode HS (Harmonized System) antara sistem Karantina dan sistem CEISA (Customs Excise Information System and Automation) Bea Cukai belum sepenuhnya rampung, menciptakan kebingungan dan potensi kesalahan deklarasi bagi pengusaha. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada semangat kolaborasi, integrasi data di tingkat teknis masih minim. 


Masalah Perbarantin 05, Niat Baik Kebijakan Terbentur Realitas Lapangan

Dampak Nyata: Biaya Tambahan dan Ancaman Daya Saing

Kendala teknis dan administratif ini bukan sekadar masalah operasional, melainkan memiliki konsekuensi ekonomi yang nyata dan merugikan.

  • Beban Biaya dan Logistik: Kewajiban sertifikasi karantina, bahkan untuk produk yang sudah melalui proses manufaktur, meningkatkan biaya produksi secara signifikan. Prosedur yang berbelit dan memakan waktu juga menyebabkan keterlambatan pengiriman ke pembeli internasional. Bagi industri yang marginnya tipis, seperti mebel dan kerajinan yang mayoritasnya UMKM, beban ini terasa sangat berat.

  • Ancaman Daya Saing Global: Ketika Indonesia menambahkan prosedur yang rumit, negara-negara pesaing seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina justru bergerak menuju simplifikasi ekspor yang lebih progresif. Ini menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan di pasar global. Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, mengkritik keras peraturan ini karena tidak adil, menyamakan produk olahan dengan komoditas mentah, dan berpotensi menurunkan kontribusi ekspor dari sektor ekonomi kreatif.

Tabel berikut merangkum masalah utama dan dampaknya:

Kategori KendalaMasalah SpesifikDampak di Lapangan
Sistem Digital
- Harus unggah dokumen berulang-ulang
- Tidak ada fitur revisi dokumen
- Ketiadaan "master dokumen" tahunan
- Kode HS tidak harmonis dengan Bea Cukai
- Inefisiensi waktu dan tenaga
- Prosedur berbelit-belit
- Hambatan kelancaran proses clearance
Administrasi
- Penggunaan email pribadi untuk registrasi
- Prosedur masih manual
- Risiko data di kemudian hari
- Beban operasional tinggi
Ekonomi
- Peningkatan biaya produksi
- Risiko keterlambatan ekspor
- Ketidakadilan untuk produk olahan
- Daya saing menurun di pasar global
- Kehilangan kontrak ekspor
- Beban berat bagi UMKM

Jalan Keluar: Solusi Jitu untuk Mengatasi Masalah Perbarantin 05

Meskipun tantangan yang ada cukup besar, ada beberapa langkah strategis yang dapat diambil untuk memperbaiki implementasi Perba 05/2025 dan mengubahnya menjadi alat yang benar-benar memfasilitasi perdagangan, bukan menghambatnya.

  1. Perbaikan Menyeluruh Sistem Digital: Badan Karantina Indonesia perlu segera merevisi PTK Online dengan menambahkan fitur-fitur yang berorientasi pada pengguna. Ini termasuk kemampuan untuk merevisi dokumen, fitur "master dokumen" untuk perizinan tahunan, dan menyederhanakan proses unggah dokumen yang redundan. 

  2. Integrasi Data Antarlembaga: Kolaborasi antara Badan Karantina Indonesia dan Direktorat Jenderal Bea Cukai harus ditingkatkan. Sinergi ini tidak hanya sebatas operasi penindakan, tetapi harus sampai pada integrasi data harian. Harmonisasi Kode HS menjadi prioritas utama untuk mencegah kebingungan dan mempercepat proses deklarasi komoditas.

  3. Kebijakan Berbasis Risiko: Perlu adanya mekanisme khusus untuk komoditas yang sudah melalui proses manufaktur, seperti produk mebel dan kerajinan. Mengaplikasikan perlakuan yang sama untuk barang jadi dan bahan mentah adalah pendekatan yang tidak adil. Peraturan harus lebih fleksibel dan berdasarkan profil risiko komoditas.

  4. Penguatan Sosialisasi: Pelaku usaha, terutama UMKM, membutuhkan sosialisasi yang lebih intensif dan pendampingan teknis. Program ini tidak hanya menjelaskan aturan, tetapi juga memberikan panduan praktis agar mereka dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada.

Dengan mengatasi kendala-kendala ini secara sistematis, Perba 05/2025 kiranya akan dapat mewujudkan tujuan awalnya: menjadi regulasi yang efisien, adaptif, dan benar-benar mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing Indonesia di kancah global. Semoga.

Penulis MZR

Posting Komentar

No Spam, Please.