
Sore itu, sisa hujan masih membasahi jalanan. Adit, dengan kamera yang tak pernah lepas dari lehernya, duduk di beranda rumah Ki Somad. Aroma kopi hitam yang pekat, bercampur dengan asap kretek, mengepul perlahan dari tangan Ki Somad yang duduk santai dengan sarungnya yang digulung sebatas betis.
"Ki, kadang gue merasa terjebak," kata Adit sambil mengelap lensanya. "Kayak hamster yang lari di roda yang sama, muter-muter doang gak kemana-mana."
Ki Somad terkekeh, matanya yang teduh menyiratkan seloroh nakal. "Terjebak apaan, Dit? Cicilan Pinjol, atau terjebak dalam pelukan mantan?"
Adit tersenyum kecut. "Bukan, Ki. Pekerjaan gue di kantor, rasanya bikin sesak. Laporan, dokumentasi rapat, semua terasa hampa. Jiwa gue ada di jalanan, memotret orang, merekam cerita. Tapi kalau gue keluar dari kerjaan, gue takut. Gue udah punya anak, cicilan jalan. Mau makan apa kalau pesanan proyek lepas (freelance) lagi sepi? Kata orang, ini namanya 'job hugging'. Memeluk pekerjaan yang udah nggak lagi dicintai."
Job hugging: memeluk pekerjaan yang sudah tak lagi dicintai
Adit menghela napas. "Tapi Ki, apa nggak pengecut, ya? Melihat orang lain berani mengejar mimpinya, gue merasa mandeg."
Ki Somad menyeruput kopinya. Rasa pahitnya menempel di lidah, membuat matanya sedikit menyipit. "Denger, Dit. Elu tuh udah punya anak dan bini. Keluar dari pekerjaan tanpa pondasi itu bukan berani, itu namanya nekat. Keberanian itu emang beda tipis sama kebodohan. Inget, mencari nafkah untuk keluarga itu wajib. Elu nggak bisa ngorbanin masa depan anak cuma demi caption 'ngejar passion' yang keren di media sosial. Keren di dunia maya, tapi kelaparan di dunia nyata."
Adit nyengir. "Tapi gue merasa kayak mati pelan-pelan di kantor. Hidup kayak robot. Gaji masuk, bayar tagihan, bayar cicilan, lalu habis. Kapan gue bisa jadi diri sendiri, Ki?"
Ki Somad mengepulkan asap. "Hidup ini bukan pilihan antara jadi robot atau seniman. Elu bisa jadi keduanya. Mencari nafkah adalah kewajiban, sedangkan motret itu adalah jiwa elu. Jadi, bikinlah keseimbangan. Jangan salah artiin sabar. Sabar itu bukan pasrah, tapi strategi. Kata Nabi, 'Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat untuk keluarganya'. Jika dengan bertahan di kantor elu bisa jaga anak dan istri, itu adalah ibadah yang mulia."
Memaknai Kopi Pahit
"Elu tau kenapa gue suka kopi pahit?" tanya Ki Somad tiba-tiba.
"Emang kenapa, Ki?" Adit balik bertanya.
"Sebab hidup itu mirip kopi pahit. Kalau diminum buru-buru, lidah kaget. Rasanya pahit menusuk. Tapi kalau elu hirup perlahan, nikmati setiap tetesnya, ada kenikmatan yang tersembunyi. Sama kayak pekerjaan elu. Rasanya memang pahit, tapi bisa jadi sumber energi. Sambil nikmatin pahitnya pekerjaan, siapin 'gula' elu sendiri: passion motret dan bikin video."
Adit tertawa kecil. "Boleh, boleh... analogi Ki Somad memang unik, tapi kena juga."
Strategi Bukan Sekadar Nekat
"Masalahnya, Ki," Adit kembali serius. "Bisnis fotografi gue belum stabil. Kadang ada job proyek pernikahan, kadang sepi total. Apa gue yakin bisa menuhin kebutuhan keluarga kalau gue keluar dari kerjaan sekarang?"
Ki Somad mengangguk. "Nah, itu dia. Itu inti masalahnya. Jangan keluar dulu kalau pondasinya belum kokoh. Kita nggak boleh nyia-nyiain amanah. Anak dan bini elu butuh biaya setiap hari, bukan harapan kosong. Jadi nih, sambil kerja, coba tabung pengalaman, tingkatkan keterampilan, dan perluas jaringan. Nanti, kalau penghasilan dari fotografi udah stabil, elu bisa keluar dengan kepala tegak. Itu bukan 'job hugging' namanya, Dit. Itu namanya menyusun strategi perang."
"Aspek psikologisnya jelas. Hierarki Kebutuhan Maslow bilang, kebutuhan dasar kayak makanan, tempat tinggal, dan rasa aman itu harus terpenuhi dulu. Setelah itu beres, baru kita bisa mikirin aktualisasi diri, ngejar impian. Jangan kebalik. Elu nggak bisa bakar kapal kalau belum punya perahu cadangan. Lagi pula, bertahan bukan berarti elu mandek. Justru di masa ini, elu bisa ngasah skill. Sambil kerja, elu bisa belajar video sinematik, editing yang rapi. Jadi, saat waktunya tiba, elu nggak cuma punya mimpi, tapi juga kompetensi yang mumpuni." sambung Ki Somad nyerocos kayak petasan cabe rawit.
![]() |
Hierarki Kebutuhan Maslow |
Adit menghela napas panjang. "Tapi gue takut kehilangan diri sendiri, Ki. Takut kehilangan jati diri, jadi orang yang gue nggak kenal lagi."
Ki Somad tersenyum, matanya penuh canda. "Elu takut kehilangan jati diri? Elu saja tiap hari pakai kamera mirrorless bisa nemuin wajah orang lain. Masa wajah diri elu sendiri nggak bisa elu temuin? Hahaha..."
Adit ikut tertawa, suasana kembali mencair.
"Dan jangan lupa," Ki Somad kembali serius. "Kerja itu juga bagian dari ibadah. Selama niat elu buat nafkahin keluarga, setiap tetes keringat itu pahala. Jadi jangan merasa minder kalau elu masih di kantor. Yang membedakan adalah niat elu. Jangan males sholat dan doa. Doa itu bikin hati adem. Kadang yang bikin orang stres bukan pekerjaannya, tapi hatinya yang kosong."
Perjuangan dan Ibadah
Malam semakin larut. Suara azan Isya dari musholla terdekat mulai terdengar. Adit merapikan kameranya. Kata-kata Ki Somad masih terngiang di telinganya: bertahan bukan berarti kalah, tapi strategi perang. Mencari nafkah untuk keluarga adalah ibadah.
Dalam perjalanan pulang, Adit menatap wajah anaknya yang tersenyum di layar ponselnya. Di situlah ia sadar, pekerjaannya mungkin terasa pahit, tapi itu sementara. Yang abadi adalah alasan kenapa ia bertahan: anak dan istrinya.
Ia nggak lagi melihat dirinya sebagai budak kantor, melainkan seorang pejuang yang sedang menabung amunisi. Suatu hari nanti, bisnis fotografi dan videonya akan berkembang pesat, bukan karena nekat, tapi karena ia sudah mempersiapkan segalanya dengan matang.
Malam itu, Adit akhirnya ngerti: kopi pahit nggak selalu menyiksa. Kadang, justru menguatkan.
Gimana, pernah nggak sih elu ngerasain dilema kayak Adit, di mana pilihan antara passion dan tanggung jawab terasa sulit?