
Matahari belum tinggi. Pagi itu, seperti biasa, di depan bengkel motor milik Aris di Kampung Pulo Timaha, suara obrolan sudah mengalun, ditemani kopi hitam dan bau oli bekas. Ki Somad duduk bersila di bangku panjang dari kayu. Di depannya, ada Sule, Fufu dan Aris, sang empunya bengkel Kanaya Motor, tampak sibuk membongkar karburator tapi tetap nyimak.
"Ada kabar lagi, Ki," ujar Sule, sambil menyeruput kopi. "Anak tetangga saya, si Goden, ketahuan nyolong HP emak-nya. Buat apa? Buat top up judol"
Fufu nyelutuk, “Ya ampun, kayak nggak ada cara lain cari hiburan. Masa iya hidup segitu stresnya sampe pelarian ke judi?”
Aris mengangguk sambil bersuara, “Saya sering liat, Ki. Anak-anak kampung sini nongkrongin HP sampe subuh, main slot online. Awalnya iseng, terus ketagihan.”
Ki Somad menarik napas panjang. “Dunia sekarang, hiburan bisa dicari semudah geser jempol. Tapi yang gampang itu justru yang paling gampang bikin tekor, ibarat menggali kuburan sendiri, mati sebelum waktunya.”
Sule nyerocos, “Tapi Ki, anehnya, mereka itu tahu kok kalau ujung-ujungnya rugi. Tapi tetap main. Nggak masuk akal!”
Gambler’s Fallacy
Ki Somad terkekeh. “Masuk akal banget, Le. Itu namanya Gambler’s Fallacy atau "kesalahan berpikir penjudi". Kalau udah empat kali kalah, dia pikir yang kelima pasti menang. Padahal enggak ada jaminan apa-apa.”
Fufu manggut-manggut, “Oh, kayak mikir ‘udah banyak rugi, masa iya nggak dapet baliknya?’ Gitu?”
“Betul,” ujar Ki Somad. “Padahal makin lama main, peluang menang makin kecil. Ada hukum dalam statistik namanya Law of Large Numbers atau ‘Hukum Angka Besar’—semakin sering main, makin besar peluang bandar menang. Terutama di permainan kayak rolet, slot, atau togel online.”
Sule mencibir, “Itu bukan hiburan, Ki, itu kuburan alias jebakan betmen!”
Ki Somad menyeduh kopinya. “Betul. Tapi bagi otak kita, rasa tegang nunggu hasil judi itu ngasih sensasi. Ada zat kimia di otak namanya dopamin yang keluar. Perasaan bahagia itu yang dicandu, bukan menangnya.”
Perasaan bahagia itu yang dicandu, bukan menangnya
Aris menghentikan aktivitasnya. “Berarti kayak narkoba ya, Ki? Bedanya ini legal... ya secara akses.”
“Ituh!,” kata Ki Somad. “Bahkan menurut psikolog, dopamin dan endorfin tetap keluar meskipun kalah. Jadi walau kalah, otak tetap ngerasa senang. Itulah yang bikin makin susah berhenti. Apalagi sekarang online, gampang diakses, tinggal klik, transfer, main.”

Budaya Judi
Fufu menyela, “Tapi Ki, kalau judi itu udah melekat sama budaya? Misalnya sabung ayam, totohan bola, atau taruhan kecil-kecilan?”
Ki Somad mengangguk pelan. “Iya. Menurut antropolog Clifford Geertz, di Jawa dan Bali, judi itu bagian dari cerita masyarakat tentang diri mereka sendiri. Sabung ayam itu bukan cuma soal uang, tapi juga identitas, solidaritas, dan harapan.”
Sule langsung nyaut, “Berarti judi nggak bisa diberantas dong?”
“Bisa dikurangi dampaknya,” kata Ki Somad tenang. “Karena ketika udah jadi sistem sosial dan industri, kita nggak bisa asal gebuk. Yang bisa kita lakukan, jaga yang rentan: anak muda, orang miskin, yang gampang ketipu harapan palsu dari kemenangan semu.”
Aris mengangguk. “Itu tuh, yang bahaya. Menang kecil dikasih terus sama sistem. Biar pemainnya punya harapan. Padahal kalau dihitung, kalahnya udah jauh lebih banyak.”
Fufu bersuara pelan, “Saya jadi inget dulu. Pernah main slot online, menang 300 ribu. Eh, balikinnya butuh 2 juta. Tapi saya tetap main, karena ngerasa ‘tinggal dikit lagi’.”
Illusion of Control
Ki Somad menepuk bahu Fufu. “Itu namanya Illusion of Control atau ilusi bisa mengendalikan. Kita ngerasa bisa ngatur hasil. Padahal itu sistem acak, algoritma yang sudah diatur buat bikin kita terus naruh uang.”
Sule mencibir, “Trik setan!”
Ki Somad tersenyum. “Bukan setan. Tapi kelemahan manusia. Kita gampang percaya harapan semu. Apalagi kalau hidup kita lagi kosong atau stres.”
Aris bertanya, “Terus, kalau udah kecanduan, Ki? Bisa sembuh?”
“Bisa,” ujar Ki Somad. “Tapi harus mau jujur ke diri sendiri dulu. Harus ada detox. Jauhkan diri dari akses judi. Lalu terapi, bisa terapi perilaku, hipnoterapi, atau pelatihan sadar diri. Bahkan ada obat buat ngurangin dorongan berjudi.”
“Dan paling penting,” tambah Ki Somad, “ada dukungan dari orang sekitar. Keluarga, teman. Kalau cuma dinasihati doang, nggak cukup. Harus diajak berubah bareng.”
Fufu bergumam, “Berarti bukan cuma salah pemainnya ya, Ki. Tapi sistem juga harus diubah.”
“Iya,” ujar Ki Somad. “Dan pemerintah udah mulai bergerak. Tapi judol ini industri besar. Kalau masyarakat bawah terus dijadikan target, kita semua yang rugi. Uangnya habis buat top up, hidup makin susah, stres makin tinggi, angka kriminalitas bakalan naik.”
Sule mengangguk mantap. “Jadi, kita harus bantu. Minimal, ngingetin saudara sendiri.”

Setiap pilihan, ada tanggung jawabnya
Ki Somad menutup obrolan dengan suara tenang, “Judi online itu bukan sekadar soal kalah atau menang. Itu soal waktu, tenaga, dan hidup yang pelan-pelan dikikis. Sekali dua kali kalah, bisa dibilang apes. Tapi kalau tetap main padahal tahu bakal kalah, itu bukan apes lagi, itu pilihan. Dan setiap pilihan, ada tanggung jawabnya.”
Semua terdiam sebentar, menatap secangkir kopi masing-masing. Di kejauhan, suara anak-anak main bola di lapangan kecil kampung terdengar. Tawa mereka, seakan menjadi jawaban paling sederhana: hidup itu bukan soal untung-untungan. Tapi soal keberanian membuat keputusan yang benar.
Ki Somad mengangkat pandangannya, menatap sawah di ujung jalan. “Hidup ini ibarat mesin, Le, Fu, Ris. Kalau kita rawat, dibenerin pas rusak, dipanasin tiap pagi, dia awet dan bisa diajak jalan jauh. Tapi kalau kita biarin rusak, ngarep enteng terus, ya meledak.”
Ia menoleh ke Aris, “Belajar ngebengkel, misalnya. Ilmu yang jelas. Nggak cuma bisa dipake buat bantu orang, tapi bisa jadi jalan rejeki halal. Daripada ngejar menang palsu dari layar HP, mending bikin mesin orang nyala lagi.”
Sule tertawa kecil, “Kata orang, rejeki udah ada yang ngatur. Tapi nggak ada yang bilang itu lewat aplikasi judi.”
Semua tertawa.
Ki Somad mengangguk, “Ayo kita saling jaga. Bukan cuma larang-larang. Tapi ajak mereka belajar atau ajak berkegiatan. Ngebengkel, ngelas, ngelasin, atau buka usaha kecil-kecilan. Kalau tangan sibuk berkarya, kepala nggak sempat mikirin judi.”
Dan pagi itu, di bawah langit Babelan yang mulai memanas, obrolan sederhana mereka jadi pengingat bahwa harapan nggak perlu dipasang di angka-angka. Tapi ditanam di diri sendiri. Agar tumbuh jadi hidup yang utuh.