Resah...

Berbagai barang dan alat bukti terbayang dan menguatkan rekonstruksi kejadian semakin menyesak dalam pikiran sang pengacara.
Resah

... 

"Elu tau, siapa yang paling berkuasa di negeri ini?," tanya seorang pengacara muda yang tampan itu sambil menyesap perlahan wine di gelas berpias cahaya burgundi. Sebuah pertanyaan resah yang lebih ia tujukan pada dirinya sendiri. 

"Entahlah. Presiden, mungkin," jawab seorang wanita berambut pendek ala pixie haircut di depannya. Diperhatikannya pengacara muda yang bekerja di sebuah perusahaan konsultan besar itu dengan tatapan gelisah. Ada kecemasan di sana. 

"Bukan....., " jawab pemuda itu nanar. Gamang dan menggantung. 

.... "Mungkin para kapitalis, jajaran intelejen, yang punya modal besar, yang menguasai informasi paling banyak, itulah yang memiliki kekuatan. Mampu menunjuk siapapun sesuka mereka untuk menjadi pejabat negara, pejabat publik, atau sebaliknya, memukul mereka, membuat terpuruk, memasukkan siapapun yang mereka mau ke penjara, membuat orang salah jadi benar atau orang benar jadi bersalah, intinya mereka bisa melakukan apapun.... apapun yang mereka mau tanpa memikirkan sedikitpun siapa yang mereka korbankan. Sungguh mengerikan... " diteguknya lagi wine yang ia pegang sambil melempar pandangannya ke arah jendela cafe dengan tatapan kosong. 

Hembusan nafasnya berat dan resah. 

Perempuan itu kini menatap lekat sang pengacara. Ia memahami betul keresahan apa yang sedang mengusik ketenangan pemuda yang telah 12 tahun jadi sahabatnya. 

Pemuda yang cerdas lagi penuh idealisme. Tak ada yang mampu membuatnya seresah ini kecuali persoalan yang sedang ia hadapi bertentangan dengan nilai yang selama ini teguh digenggamnya. 

"Lepaskan, kalo elu gak sanggup terus ada bersama mereka....," ucapnya sekadarnya. Sebab hanya itu yang bisa ia lakukan sebagai sahabat. 

Pemuda itu diam sejenak, meneguk tandas sparkling wine lokal ternama. Meletakkan gelas kristal 520ml kosongnya di atas meja, lalu perlahan bangkit. Ia memanggil dan memberi tips ke pelayan cafe

Resah...



"Gue jalan dulu, ya Gwen," terdengar lirih suara bariton itu perlahan. Bayangan sang pengacara kemudian menghilang di temaram lampu cafe.

Gwen yang tidak tak merasa perlu untuk menjawabnya segera kembali fokus dengan laptopnya. Membuka aplikasi pengolah kata dan menulis sebuah rilis atas nama firma hukumnya, tentang seorang pejabat BUMN yang tertangkap tangan kedapatan membawa uang di kotak magnet sebuah merk tas branded dunia.
 
Sementara itu, sang pengacara tertegun di belakang kemudi Sedan Camry Hybrid berwarna hitam Attitude Black kebanggaannya. 

Matanya nanar menerawang,  menembus kaca lamisafe hingga ke ujung jalan, tatapannya tertuju pada dua bocah yang sedang duduk di trotoar. Lalu pemandangan itu menjelma perlahan menjadi wajah seorang pejabat BUMN yang terperangah tak percaya saat ditunjukkan tumpukan uang tunai di sebuah kotak magnet sebuah merk tas branded dunia. 

Bagaimana bisa kotak besar itu ada di dalam  jok belakang mobil yang sore itu baru saja hendak dibawa pulang setelah dua pekan berada di bengkel mobil usai built up permintaan seorang menteri kabinet yang berkuasa? 

Lalu berganti sosok wajah dua anak sang pejabat yang baru 2 tahun menjadi salah satu direksi BUMN, wajah keduanya terlihat sendu menatap sang ayah berada di ruang penyidik kantor polisi. 

Berbagai barang dan alat bukti terbayang dan menguatkan rekonstruksi kejadian semakin menyesak dalam pikiran sang pengacara. Tapi logikanya terus menolak, bagaimana mungkin?


... 


---------------
Penulis Mak Sri Suharni
Minggu, 13 September 2020
Foto dari: www.foodandfeast.com

Posting Komentar

No Spam, Please.