Riba Pembawa Petaka

Aku sedari awal benci perkara riba terhadap diriku, memberi syarat pula terbebas hutang riba bagi pria yang menjadi suamiku. Riba Pembawa Petaka

Enaknya istri abang kami. Sebagai ipar, kami tak pernah merepotkan barang serupiah pun. Atau datang untuk uang seribu rupiah juga tidak.

Aku tak kerja selama 2 tahun lamanya, tak pula menyusahkan abangku, apalagi istrinya. Sedangkan kakak dari suami datang kepadaku untuk pakai uang modal usaha yang hendak dipinjamkan ibu bapakku. "Keji nian!", kalau mengutip ucapan nenekku.

Bagaimana bisa? Meminta aku meminjamkannya, dan bagaimana aku bilang pada orang tuaku? Sedangkan aku seharusnya ada dalam tanggung jawab adik laki-lakinya. Bila adiknya sedang dalam kesusahan pun, kami tak tega bilang pada ibu bapaknya. Aku bantu usahakan pinjam pada ibu bapakku. 

Wajarlah bila akhirnya aku sempat geram dan naik pitam. Bukan lagi untuk sekedar pinjaman biasa, namun pada akhirnya terkuaklah perkara rumah orangtua suami dijadikan jaminan pinjaman bank sebesar ratusan juta.

Aku sedari awal benci perkara riba terhadap diriku, memberi syarat pula terbebas hutang riba bagi pria yang menjadi suamiku. 

Aku bukan sok suci, namun menjaga kesucian lambungku demi terkabulnya doa-doaku bagi ibu bapak dan keluargaku.

Kemudian tanpa tahu menahu urusan, hendak dilibatkan dalam pusara hutang piutang ribawi kakaknya. Aku menolak. Dengan halus. Rasa sakit hati akhirnya yang menjadikan hasad hasut memecah rumah tangga kami. 

Hanya orang-orang merugi yang mau diadu domba. Sedangkan orang-orang yang berpikir, tak mudah menerima begitu saja.

Yang mengenal aku, paham betul bahwa apa yang aku ucapkan, maka itu yang aku lakukan. Bukanlah umat Nabi Muhammad orang-orang yang "kaburo maqtan". 

Bila kamu salah menyangka aku, itu murni karena kekeliruanmu dalam menilai. Pada kenyataannya, aku memang tak sebaik yang disangka, namun juga tak seburuk yang dituduhkan. 

Manusia itu diciptakan dengan sifatnya yang tergesa-gesa, dan dijadikan tempat salah juga lupa. Maka wajarlah manusia itu melakukan kesalahan. Yang tidak wajar, enggan mengakui kesalahan dan lari dari tanggung jawab.

Kebencian yang ditimpakan padaku tidak berhenti sampai di situ, perkara rumahku dikatakan bagai neraka juga dilontarkan oleh adiknya yang penuh kedengkian. Ia anak bungsu yang inginkan rumah orang tuanya sendiri dijual, demi bisa memiliki rumah sendiri. Orangtua yang masih hidup. 

Sudah ku katakan pada mereka, "Untuk apa rumah orang tua dijual?. Kan mereka masih sehat?". Dari situlah sikap tak bersahabat sudah muncul.

Sebagai anak yang terdidik oleh orangtua dengan kasih sayang yang benar, aku merasa sangat ganjil. Aku utarakan pada suami saat itu bila saudara-saudaranya mengajak berkongsi menjual rumah orang tuanya, aku tidak ridho atas uangnya sebagai nafkah atas diriku.
 
Aku masih memiliki simpanan (sedikit harta dan ilmu) untuk bertahan hidup dan sedekah. Bagiku, kejadian itu seperti aku membaca kisah saudara-saudara Nabi Yusuf yang mengatur strategi untuk mengasingkan Nabi Yusuf. 

"Ini gak bener. Ada yang gak bener", aku selalu berpikir begitu setiap kali berinteraksi dengan mereka. Maka aku putuskan untuk menghindar atau membatasi interaksi.

---

Benar saja. Aku sudah menghindar. Sudah membatasi diri. Pakai datang ke rumahku, pinjam uang puluhan juta. Mau nangis gak kalian kalau ada di posisiku? 


Aku gak nangis, aku marah tapi menahannya dan berusaha menolak halus. Tetap saja orang yang dengki akan tetap memandang buruk diri kita, sebaik apapun.

Jadi bagi kalian yang berspekulasi kalau aku istri yang gak bersyukur, itu salah bangat. Aku istri yang kepengen suami maju dengan dorongan doaku. 


Penulis: Omi
Minggu, 8 Mei 2022

Posting Komentar

No Spam, Please.