[Cerpen] Sebuah Nama

“Tunggulah hingga angin pantai di sini selesai menghembuskan senjanya yang akan tenggelam, baru kau boleh pergi ...”
***

Raga tak pernah mengerti kenapa perempuan itu setiap sore selalu mengajaknya duduk di bibir pantai yang airnya sedang berkilat-kilat merah. Selalu sore. Tak pernah ia mendapat ajakan perempuan itu pada pagi atau siang. Pensil dan sebuah buku kecil berbentuk diary adalah barang wajib yang selalu ia bawa ketika asyik sekali menatap senja. Kian lama warnanya kian menunjukkan taji kemerahannya. Sari bunga mawar berwarna merah seakan tumpah dengan pekat di sana dan menghambur ke seluruh awan. Menggulung sore dengan sombongnya.

Selalu ada ritual diam dan memejamkan mata ketika akhirnya perempuan itu duduk untuk pertama kali di atas pasir putih yang halus. Diam. Bersila. Seperti meditasi. Raga awalnya mengira perempuan ini adalah dukun yang ingin mencari ilham dan ilmu kesakten di Pantai Muara Padang yang cantik ini. Namun, ternyata bukan.

“Jadi, namamu siapa?” tanya Raga sesaat setelah perempuan itu membuka kelopak matanya. Yang ditanya balas bertanya, “Kenapa kau tidak bertanya tentang namaku di awal aku mengajakmu di pantai ini?”
Raga terdiam.
***

Kenangan.
Pantai ini selalu membawa kenangan bagi banyak muda-mudi di sini. Terlebih ketika senja, seperti yang selalu diceritakan perempuan itu setiap bertemu, malaikat putih bersayap seakan turun dari langit untuk pergi ke pantai ini. Perempuan itu selalu memulai ceritanya ketika bibir matahari mulai menyentuh garis horizontal pantai di kejauhan, ketika tentu senja sedang gagah-gagahnya berwarna merah kekilatan. Perempuan itu selalu takjub dalam tatapan mata yang lurus dan tajam ke arah senja. Seperti ada yang ingin disampaikan.

“Hei, kenapa kau melamun?”
“Oh,,, tidak. Aku hanya membayangkanmu mencari ikan di tengah laut sana. Melawan ganasnya jilatan gelombang yang sulit kau kendalikan. Kapalmu akan bergoyang ke kiri-kanan. Lalu layarmu akan termakan angin dengan lahapnya. Kemudian oleng. Tak takutkah kau dengan semua itu, Raga?”
“Jika memang begitu takdirnya, seharusnya aku tak pernah lagi hadir menemanimu di sini untuk bertanya tentang namamu, kan?”
“Nama lagi. Tak adakah pertanyaan yang lain. Apakah kedatanganku yang selalu mengajakmu ke sini tidak cukup jelas?”
“Sampai kapan aku harus memanggil kamu, Uni? Aku perantauan dari Madura dan kagok sekali jika terus-terusan memanggilmu Uni. ”
Perempuan itu tersenyum. Tatapan mata mereka bertemu satu detik. Pertemuan sekejap mata yang berbicara banyak hal. 
***

Nelayan di sepanjang Pantai Muara Padang ini tentu saja didominasi oleh suku Minangkabau. Penduduk di sini masih menghormati ajaran adat Bundo Kanduang. Raga adalah seorang perantauan yang tidak jelas nasibnya. Datang ke kota ini, awalnya bekerja sebagai pedagang sayuran di Pasar Jati, karena ikut temannya. Karena tidak tahan dengan bentakan bosnya yang asal Sumatera Utara, ia akhirnya melarikan diri secara diam-diam. Saat itu ia tak tahu kemana harus melangkah. Menurut beberapa obrolan orang di pasar, di dekat sini ada pantai yang berjarak cuma empat kilometeran. Karena tak punya uang ia nekat berjalan menyusuri sepanjang Jalan Diponegoro, demi untuk sampai di pantai. Sesampainya di pantai, ia lalu mengemis iba. Mengetuk pintu dari rumah satu ke rumah yang lain. Berharap bahwa ada yang mau menerima dia bekerja sebagai nelayan. Di Madura, di tempat kelahirannya, Raga memang sudah dari kecil akrab dengan laut. Bapaknya seorang nelayan.

“Aku ingin besok anakku menjadi nelayan”
“Nelayan?”
“Yah. Nelayan.”
“Kenapa?”
“Aku ingin anakku suatu saat nanti menjadi seorang penunggu angin sore dan senja di pantai ini. Yang belaian dan keindahannya bisa kau rasakan hingga kau tertidur pulas di atas alas tidurmu. Tidakkah kau mengetahui itu, Raga?”
“Aku hanya tidak tahu namamu.”

Keduanya saling menoleh dan bertatapan. Namun duduk mereka tetap berjarak. Tak pernah mereka bersentuhan kecuali bersalaman di awal perkenalan mereka. Ada senyum kecil indah pada raut wajah mereka berdua.

“Kau harus tahu, Raga, tentang senja dan angin pantai sore ini. Aku tak akan pernah menyebutkan namaku sebelum kau bisa merasakan dan menikmatinya”
“Uni, jangan paksa aku untuk memahami alam pikiranmu. Kau sekolah. Juara pula. Seperti yang selalu kau ceritakan padaku. Juara Berbahasa Inggris. Cerdas Cermat MIPA. Karya Ilmiah. Apalah itu. Aku tak mengerti. Kau kuliah pula. Sedang aku ....”
“Dan kau adalah seorang nelayan. Lalu apa peduliku?” perempuan itu memotong pembicaraan Raga.

Sejenak mereka terdiam. Lalu saling menoleh. Dan tersenyum kecil lagi, sebelum pada akhirnya mereka tertawa sekencang-kencangnya ke arah pantai. Menertawai kehidupan mungkin.

Mereka kemudian berlarian-larian di atas hamparan pasir yang membuat kaki-kaki mereka tergelitik. Tapak-tapak kaki yang timbul oleh mereka dan hanyut oleh sapuan lembut air pantai yang meminggir seakan menjadi saksi bisu tentang kenangan.

Kenangan adalah seperti rasa yang memaksa. Mau tak mau harus merasakannya. Suka atau tidak, kenangan akan datang menghampiri. Lalu pergi begitu saja tanpa permisi...

O, angin pantai dan senja, butakah kau tentang kisah seorang nelayan dan perempuan pada soremu itu?

“Akankah kau akan merindukanku, suatu saat nanti, Uni?” tanya Raga di suatu hari.
Tak ada jawaban terlontar. Suara Raga terlalu lirih atau memang perempuan itu yang pura-pura tidak mendengar. Entahlah. Yang pasti, perempuan itu hanya tersenyum. Ya. Hanya tersenyum.
***

18 Februari 2001. Kerusuhan Sampit pecah. Raga mendapat kabar sanak keluarganya perantauan Madura yang berada di sana ikut dibantai. Ia pecah celengannya, meminjam uang dari sana-sini lalu berangkat ke Sampit. Ia pamit kepada perempuan itu di sore hari. Dan berangkatlah....
***

Kerusuhan Sampit mereda.
Raga memutuskan untuk kembali ke Padang, bekerja lagi sebagai nelayan. Entah ini keputusan yang logis atau tidak. Atau karena ada sesuatu yang tertinggal?

Raga berdiri lagi di Pantai Muara Padang ini. Lima tahun telah terlampaui. Sudah banyak yang berubah. Ia datang ke tempat ini tepat pada sore hari ketika angin pantai sore dan senja sedang beratraksi di ujung garis datar pantai. Sekelebat ada kenangan yang tiba-tiba hadir. Ada kalimat yang selalu membayang. Dan ada sebuah nama yang masih ia cari.

“Tunggulah hingga angin pantai di sini selesai menghembuskan senjanya yang akan tenggelam, baru kau boleh pergi ...”
***
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDggnTz3I_L8_BN0P5LyZJODyP51RtWVjQOSY8CMj8Nao4TTJj9scxor4efrh1hIZvN8znga2HLkj-av3WX5BTOH_jGpryVMaEsY4Piar8LrszMCsepZE8Slqh7x7K2RLX6qWtjYbYRQ/s1600/siluet-orang-laki-merenung-sore.jpg
Oleh Eko Budi Santoso - TCM 93 2016 [Juli 2016]

Posting Komentar

No Spam, Please.