"Selamat hari ibu" saya tujukan secara umum kepada semua kaum ibu, ibu yang telah melahirkan saya dan ibu yang tidak melahirkan saya namun telah menggunakan sebagian dari sejarah hidupnya sedemikian berjasa sehingga menjadi kewajiban bagi saya untuk menghormatinya sebagaimana saya menghormati ibu kandung saya.
Apakah perempuan yang tidak pernah melahirkan layak disebut ibu? Ya, secara alamiah gelar mulia itu akan tersematkan kepada seorang perempuan yang melahirkan dan memelihara anak kandungnya dengan baik, tapi saya agak ragu mengucapkan kata "ibu" kepada para perempuan yang tega membunuh anak kandungnya sendiri. Sayangnya tidak ada kata lain untuk menggantikan kata itu, sehingga sering terucap "ibu macam apa yang tega membunuh darah dagingnya sendiri?".
Ibu yang melahirkan saya adalah seorang perempuan biasa, yang setelah saya remaja dan dewasa sering bersitegang dan kerap menangis mendapati saya "berbeda" dan mungkin tidak sesuai dengan gambaran umum seorang anak yang baik baginya.
Kelak setelah beliau tidak ada, hanya penyesalan yang tertinggal, mengutuki diri mengapa terlalu cepat beliau pergi sebelum saya dapat membalas kebaikan-kebaikannya walau dengan cara saya sendiri. Semoga Allah menyayangi ayah dan ibu saya sebagaimana mereka menyayangi saya, amiin.
Kepada para ibu, yang bukan ibu kandung atau bukan ibu secara biologis, saya lebih menganggap sebagai ibu psikologis dll, ibu yang tidak memiliki hubungan silsilah namun saya tetap menghormatinya dengan cara yang saya pahami, mereka juga mulia dan berjasa, mereka memiliki kasih sayang yang berlimpah dan mampu menyayangi anak-anak yang tidak terlahir darinya sebagaimana ia menyayangi anaknya sendiri.
Sebagian dari ibu psikologis tidak memiliki anak kandung, mungkin karena faktor medis dan lain sebagainya hal itu terjadi, namun mereka tetap layak disebut sebagai ibu, saya dan beberapa kawan adalah anak-anak asuhnya dengan bangga memanggil beliau sebagai ibu.
Apakah perempuan yang tidak pernah melahirkan layak disebut ibu? Ya, secara alamiah gelar mulia itu akan tersematkan kepada seorang perempuan yang melahirkan dan memelihara anak kandungnya dengan baik, tapi saya agak ragu mengucapkan kata "ibu" kepada para perempuan yang tega membunuh anak kandungnya sendiri. Sayangnya tidak ada kata lain untuk menggantikan kata itu, sehingga sering terucap "ibu macam apa yang tega membunuh darah dagingnya sendiri?".
Ibu yang melahirkan saya adalah seorang perempuan biasa, yang setelah saya remaja dan dewasa sering bersitegang dan kerap menangis mendapati saya "berbeda" dan mungkin tidak sesuai dengan gambaran umum seorang anak yang baik baginya.
Kelak setelah beliau tidak ada, hanya penyesalan yang tertinggal, mengutuki diri mengapa terlalu cepat beliau pergi sebelum saya dapat membalas kebaikan-kebaikannya walau dengan cara saya sendiri. Semoga Allah menyayangi ayah dan ibu saya sebagaimana mereka menyayangi saya, amiin.
Kepada para ibu, yang bukan ibu kandung atau bukan ibu secara biologis, saya lebih menganggap sebagai ibu psikologis dll, ibu yang tidak memiliki hubungan silsilah namun saya tetap menghormatinya dengan cara yang saya pahami, mereka juga mulia dan berjasa, mereka memiliki kasih sayang yang berlimpah dan mampu menyayangi anak-anak yang tidak terlahir darinya sebagaimana ia menyayangi anaknya sendiri.
Sebagian dari ibu psikologis tidak memiliki anak kandung, mungkin karena faktor medis dan lain sebagainya hal itu terjadi, namun mereka tetap layak disebut sebagai ibu, saya dan beberapa kawan adalah anak-anak asuhnya dengan bangga memanggil beliau sebagai ibu.
Saur Marlina (Butet) Manurung
Lebih luas lagi, kepada para kaum ibu yang tidak mau tertinggal dengan para pemuda saat mencatatkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, sehingga dua bulan kemudian pada tanggal 22 Desember 1928 mereka menghelat Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali di Yogyakarta, yang kini untuk memperingatinya kita merayakannya sebagai "Hari Ibu".
Kepada mereka dan penerus semangat itu, saya mengucapkan Selamat Hari Ibu, kalian adalah ibu bangsa ini, kalian tidak akan berdiam diri melihat para pemuda berkarya dan berbakti, dan tidak akan pernah bisa membiarkan anak-anak bangsa terlantar.
Selamat Hari Ibu untuk kalian. Air mata kalian akan menjadi tsunami bagi para tirani yang dengan cara pengecut mengurung kalian dalam penjara-penjara berupa konsep gender dlsb.
Kalian, perempuan-perempuan biasa yang tidak bisa berpangku tangan melihat ketimpangan-ketimpangan, perempuan yang marah menyaksikan ketidakadilan sosial dlsb, yang bersedih karena hanya mampu melakukan perubahan-perubahan kecil, yang ikut menangis kala anak negeri tersungkur dihempas peradaban.
Selamat Hari Ibu.... izinkan kami anak-anakmu membasuh tangis dan luka di kaki mu.
Kepada mereka dan penerus semangat itu, saya mengucapkan Selamat Hari Ibu, kalian adalah ibu bangsa ini, kalian tidak akan berdiam diri melihat para pemuda berkarya dan berbakti, dan tidak akan pernah bisa membiarkan anak-anak bangsa terlantar.
Selamat Hari Ibu untuk kalian. Air mata kalian akan menjadi tsunami bagi para tirani yang dengan cara pengecut mengurung kalian dalam penjara-penjara berupa konsep gender dlsb.
Kalian, perempuan-perempuan biasa yang tidak bisa berpangku tangan melihat ketimpangan-ketimpangan, perempuan yang marah menyaksikan ketidakadilan sosial dlsb, yang bersedih karena hanya mampu melakukan perubahan-perubahan kecil, yang ikut menangis kala anak negeri tersungkur dihempas peradaban.
Selamat Hari Ibu.... izinkan kami anak-anakmu membasuh tangis dan luka di kaki mu.
***