Kucing muda yang pemarah: ia kadang berfikir bahwa dirinya macan, ia percaya semacam teori filsafat atau kepercayaan yang meyakini bahwa macan tidak lebih dari sebangsa kucing yang kelebihan berat badan atau legenda yang belum tentu benar atau setidaknya terlalu dilebih-lebihkan demi pesan moral yang mungkin telah usang... sampai saat kami berhadapan dengan macan yang sebenarnya.
Saat itu, seperti biasa kami sedang bermain di tepi hutan, si raja rimba berjalan perlahan keluar dari hutan menuju sumber air, berjalan tertatih seperti menahan kesakitan, melangkah dengan mata mengiba memohon belas kasihan. Kucing muda ini tergoda untuk mewujudkan impiannya, membuktikan bahwa legenda tentang macan hanya dongeng belaka, juga demi melenyapkan angkara tirani yang menjajah padang rimba daratan. Namun keinginan itu berhasil ku redam, bagaimanapun seekor kucing dan seekor tikus bukanlah tandingan macan yang sekarat sekalipun.
Kucing muda yang belum berpengalaman, memelihara mimpi besarnya, sesering mungkin mengasah cakar dan taring disela-sela waktu mabuk dan berbaring kekenyangan.
Bersama teman-teman seperjuangannya sang kucing mengatur siasat untuk menundukkan sang macan. Bersamanya bermacam ras kucing dari berbagai padang hingga berjumlah 10. Mereka menyerang, membabibuta, darah.... Pembantaian....
Seusai pembantaian, hanya tersisa 1 kucing, ia sahabatku, si pengatur siasat, yang kemudian dengan mahal membayar kontan menggunakan 9 nyawa kawannya untuk sebuah pelajaran sederhana.
Kucing yang pemarah kini lebih beringas, ia hidup dengan perjanjian kolonial, kini ia menjadi bayangan sang macan, ia menjadi mata, menjadi kaki dan segala kepatuhannya dengan taruhan nyawa.
Kucing yang pemarah juga belajar dari tuannya, ia berjalan tertatih demi mengundang simpati, ia mengklaim gelar seorang pejuang... yang kalah melawan tirani sehingga disukai kucing-kucing muda yang lupa sejarah.
Belajar dari tuannya, ia meraih simpati walau dibalik senyumnya terselip kuku dan taring yang selalu siap menikam kawan ataupun lawan.
Aku hanya tikus kecil yang kini semakin ngeri, ceritaku ini tentu tak akan dipercaya bangsa kucing, bagaimana aku dapat menyampaikan pesan bahwa musuh mereka bukan hanya macan?, ada saudara sebangsa mereka yang tidak lagi berjiwa kucing, pengabdi yang lebih sadis dari macan, tapi "kucing yang pemarah" terlalu pandai bersandiwara dan merebut hati para penghulu negeri.
Ia kini marah padaku, yang pernah ia jadikan saksi untuk menguatkan gelar pejuang yang kalah demi simpati, simbol perlawanan semesta pada tirani macan yang justru kini menjadi majikan. Ia takut aku ceritakan kejadian yang sesungguhnya kusaksikan. Tentu dengan membunuhku akan lebih mudah baginya untuk menyelesaikan kekhawatirannya, namun kucing yang pemarah tidak pernah mau mengotori tangannya, membayangkan itu semakin ngeri kurasa untuk tinggal berlama-lama bersama bangsa kucing, aku pergi.
Dari burung hantu aku mendengar kabar yang baru kali ini kudengar, legenda permusuhan nenek moyang kucing dan tikus. Rupanya teror inilah yang ia berikan kepadaku sehingga tak ada lagi kesempatanku untuk menceritakan kisah kucing yang pemarah itu dari liang tanah pertapaanku.
Meong.... :)
Saat itu, seperti biasa kami sedang bermain di tepi hutan, si raja rimba berjalan perlahan keluar dari hutan menuju sumber air, berjalan tertatih seperti menahan kesakitan, melangkah dengan mata mengiba memohon belas kasihan. Kucing muda ini tergoda untuk mewujudkan impiannya, membuktikan bahwa legenda tentang macan hanya dongeng belaka, juga demi melenyapkan angkara tirani yang menjajah padang rimba daratan. Namun keinginan itu berhasil ku redam, bagaimanapun seekor kucing dan seekor tikus bukanlah tandingan macan yang sekarat sekalipun.
Kucing muda yang belum berpengalaman, memelihara mimpi besarnya, sesering mungkin mengasah cakar dan taring disela-sela waktu mabuk dan berbaring kekenyangan.
Bersama teman-teman seperjuangannya sang kucing mengatur siasat untuk menundukkan sang macan. Bersamanya bermacam ras kucing dari berbagai padang hingga berjumlah 10. Mereka menyerang, membabibuta, darah.... Pembantaian....
Seusai pembantaian, hanya tersisa 1 kucing, ia sahabatku, si pengatur siasat, yang kemudian dengan mahal membayar kontan menggunakan 9 nyawa kawannya untuk sebuah pelajaran sederhana.
Kucing yang pemarah kini lebih beringas, ia hidup dengan perjanjian kolonial, kini ia menjadi bayangan sang macan, ia menjadi mata, menjadi kaki dan segala kepatuhannya dengan taruhan nyawa.
Kucing yang pemarah juga belajar dari tuannya, ia berjalan tertatih demi mengundang simpati, ia mengklaim gelar seorang pejuang... yang kalah melawan tirani sehingga disukai kucing-kucing muda yang lupa sejarah.
Belajar dari tuannya, ia meraih simpati walau dibalik senyumnya terselip kuku dan taring yang selalu siap menikam kawan ataupun lawan.
Aku hanya tikus kecil yang kini semakin ngeri, ceritaku ini tentu tak akan dipercaya bangsa kucing, bagaimana aku dapat menyampaikan pesan bahwa musuh mereka bukan hanya macan?, ada saudara sebangsa mereka yang tidak lagi berjiwa kucing, pengabdi yang lebih sadis dari macan, tapi "kucing yang pemarah" terlalu pandai bersandiwara dan merebut hati para penghulu negeri.
Ia kini marah padaku, yang pernah ia jadikan saksi untuk menguatkan gelar pejuang yang kalah demi simpati, simbol perlawanan semesta pada tirani macan yang justru kini menjadi majikan. Ia takut aku ceritakan kejadian yang sesungguhnya kusaksikan. Tentu dengan membunuhku akan lebih mudah baginya untuk menyelesaikan kekhawatirannya, namun kucing yang pemarah tidak pernah mau mengotori tangannya, membayangkan itu semakin ngeri kurasa untuk tinggal berlama-lama bersama bangsa kucing, aku pergi.
Dari burung hantu aku mendengar kabar yang baru kali ini kudengar, legenda permusuhan nenek moyang kucing dan tikus. Rupanya teror inilah yang ia berikan kepadaku sehingga tak ada lagi kesempatanku untuk menceritakan kisah kucing yang pemarah itu dari liang tanah pertapaanku.
Meong.... :)