Kemiskinan dan #kopi sore yang sepi

Banyak sudah bahasan mengenai kemiskinan struktural, di mana kemiskinan disebabkan oleh sistem monopoli dan oligarki penguasa (negara dan pemilik modal) terhadap aset-aset produksi atau kekayaan alam, serta ketidakadilan dalam menciptakan kesempatan kerja serta ketimpangan pendistribusian hasil-hasil produksi yang tidak merata kepada semua golongan masyarakat.

Kemiskinan struktural ini erat kaitannya dengan perspektif ekonomi, kemiskinan di sini diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Dalam konteks ini, sumber daya tidak hanya berupa aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Dengan indikator materi, seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi.

Bahkan masyarakat awam sudah pandai mengenali dan fasih menjabarkan aspek-aspek mengenai kemiskinan struktural yang kerap menjadi komoditi peraih simpati massa saat "panen suara" tiba, pilkades, pilkada hingga pemilu. Sayangnya pemahaman ini tidak diimbangi dengan solusi praktis yang nyata, hanya sekadar menjadi obrolan saat ngopi tanpa arah karena keterbatasan akses dan minimnya pengetahuan teknis.

Kemiskinan dan #kopi sore yang sepi

Kemiskinan yang abstrak dan relatif kini sudah dapat dikunci dalam makna kuantitatif dengan ukuran-ukuran tertentu. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living standards across the whole society (Sumodiningrat, 1999). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kemiskinan terkait dengan batas absolut standar hidup dan menyangkut standar hidup relatif dari masyarakat.

Garis besar definisi itu adalah bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Ketidakmampuan tersebut ditunjukkan oleh kondisinya yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan. 

Garis kemiskinan merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan, setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.

Okelah kita sudah memiliki alat ukur untuk menetapkan definisi kemiskinan demi memperjelas dan memilah mana yang masuk dalam kategori miskin dan mana yang tidak.... lalu apa?
Daripada berputar-putar dalam lingkup tataran kemiskinan struktural kenapa kita tidak mencoba menarik diri sebentar lalu memandang kemiskinan dari sudut lain, salah satunya dari sudut pandang  kemiskinan kultural.
Dari literatur, secara garis besar kemiskinan kultural akan mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya. Sikap budaya itu, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. 

Sedangkan, kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas.

Saya sebagai warga biasa jelas hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki akses untuk berbuat dalam tataran kemiskinan struktural, tapi dalam tataran kemiskinan kultural saya jelas memiliki akses, karena ini berhubungan dengan faktor budaya, budaya keseharian yang hidup, di mana saya dan masyarakat marjinal hidup bersama dan berinteraksi. 

Per definisi, budaya yang dimaksud di sini adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang. Atau dapat juga disebut sub-budaya (subcultural) agar tidak rancu dengan definisi budaya secara luas.

Menerapkan pendekatan kultural sebagai pengentas kemiskinan adalah mungkin, memperbaiki tingkat kehidupan banyak caranya, salah satunya dengan pendekatan pada softskill, mindset dan lain sebagainya. Sasaran utamanya adalah menghidupkan harapan untuk memperbaiki taraf hidup yang logis dan terjangkau, menumbuhkan kreativitas, etos kerja dan lain sebagainya. 

Tentu saja Anda dapat merancang sendiri pendekatan mana yang menurut Anda lebih tepat dan efektif, pintu ini terbuka lebar untuk kita berbuat. Jika benar kita peduli, jika benar kita ingin membantu saudara-saudara kita, mari kerjakan sesuatu melalui "pintu" ini. Karena saya bukan politikus, bukan budayawan, bukan pemilik modal, saya memilih jalan ini dengan cara saya sendiri :) 

Jika Anda membaca sampai kalimat ini... maka saya yakin Anda dapat menemukan sendiri jalan Anda. Jika tidak... saya percaya itu masih tersembunyi di balik kerendahan hati Anda, atau masih tersamar di balik beban hidup sehari-hari yang kita semua hadapi atau lainnya.

Salam.

Posting Komentar

No Spam, Please.