sketsa buram hati gali

Kubelai lembut rambut kusut Lala, mencoba menerjemahkan kelembutan kasih rembulan melalui jari kasarku. Tidurlah, mimpimu milikmu
Haruskah ku salahkan matahari karena sinarnya meredupkan rembulan?
Di bangku terminal bus antar kota aku menjilati nasib yang bernanah. Petugas penjaga peron sebentar lagi akan datang menagih sewa kursi dan mengusirku, dengan sepatu lars berlapis baja dan caci maki yang itu-itu saja. Kadang aku berfikir apakah para mahluk berseragam ini dididik secara khusus untuk mengucap sumpah serapah dan caci maki yang membosankan itu?.

sketsa buram hati gali

Aku dan rekan-rekan usaha yang entah dari mana pernah ditangkap lalu diberikan ceramah berbusa-busa yang tetap saja menurutku tampak seperti makian yang dibungkus retorika dan mitos ketertiban serta keamanan terminal. Toh akhirnya kami dibebaskan setelah diberi makan dan uang saku sekadarnya. Apakah terminal menjadi tertib dan aman?, tergantung siapa yang ingin kita bohongi.

"Bangun bangun hoiii %$#^&*!!!!" bentak para mastodon, pagi ini hanya dua orang jelek itu yang menyelesaikan piket malam.

"Woiii mana sewa kursinya, bangun cepet udah siang dasar #$%@!!!" 
Aku duduk bersila di atas bangku peron dan dengan enggan kusiapkan selembar uang 5000. Pernah aku coba melarikan diri, namun saat malam sedang menikmati buaian lembut bunda malam aku diseret dan digulung oleh para mastodon rakus ini, aku tak punya pilihan lain, di sinilah rumahku, dan sudah dua tahun aku mencari hidup di sini dengan berwiraswata dalam CV dua jari diterminal ini.

"Ber.. arah jam 11 yang baju kuning kayaknya kakap tuh" bisik Kutex seperti meminta pertimbangan.

"bolehlah, mudah-mudahan aja kakap beneran, ... yuk"

Kami menguntit seorang remaja tanggung yang berpakaian agak mencolok, yeah seorang hommies alias tampang anak rumahan, umur tanggung, sendirian... seekor mangsa yang siap saji. Saat remaja tersebut naik sebuah bus yang ngetem di pintu keluar terminal kusuruh kutex naik dari pintu depan dan aku dari pintu belakang.

"Elo ama supirlo merem aja, tar kalo dapet gue persen, Ok brur" bisikku, Kernet atau kondektur itu mengangguk dan melonggo saja saat kami beraksi dalam busnya.

Keadaan bis sudah lumayan ramai, masih terdapat beberapa kursi kosong di bagian belakang.

Remaja itu sedang memandang keluar, telinganya yang disumpal sebuah earphone dari media player portabel lebih membuat remaja ini lengah.

Kutex duduk di samping remaja itu, aku mengambil posisi tepat di belakang tempat duduk mereka. Sejenak kemudian tas ransel, dompet dan sebuah handphone sudah berpindah tangan, kutek sudah membereskan semua, earphone masih menempel di telinga remaja yang ketakutan ini. Kami masih tetap duduk sampai bus meninggalkan terminal. Kutek meninggalkan bus dan aku masih tetap duduk untuk memastikan remaja ini diam di tempatnya sampai kutek mendapatkan jarak aman.

Setelah bangku kosong yang ditinggalkan Kutek diisi oleh penumpang lain, kutarik badik yang kutempelkan melalui celah kursi di pinggang sang remaja. Saat lampu merah menghentikan laju bus, akupun turun dan berganti bus yang mengarah kembali ke terminal.

Di warung kopi dekat WC umum di belakang terminal, tempat kami biasa berkumpul dan membagi hasil masih tampak 3 atau 4 orang supir tembak sedang ngopi dan ngobrol.

"Bang kober, tadi bang kutex bilang ditungguin dipetak 9 kali jodoh" sambut Yuk Darmi sang pemilik warung.

Aku sedikit tersenyum, petakan 9 adalah tempat pelarian Kutex saat dia terlibat kasus curas di Surabaya, dia punya seorang kekasih yang mangkal disana, dia akan melakukan ini kalau hasil jarahan kami bernilai tinggi.

sketsa buram hati gali

Di kamar 3x4 itu Kutex sedang duduk mesra ditemani Suki kekasihnya, kamar pengap dengan asap rokok ini menebar aroma pengharum ruangan murahan yang tidak dapat mengusir bau apek dan aroma khas lokalisasi.

"Ber, ini kakap Ber, tar gue ambil dulu" Kutex segera beranjak mengambi hasil kerja kami dari lemari pojok Suki.

"Bang Kober, mau minum kopi juga" tawar Suki ramah.

"Boleh, biasa yah, kental gak pake gula" jawabku mencoba ramah.

Suki beranjak meninggalkan kami.

"Nih Ber, lihat" potong Kutex sambil menggelar barang-barang mewah itu.

"Blekberi baru nih ber, ini diumpetin aja dulu tar kalo dilihat si Suki bisa pengen dia" Kutex mencoba menjelaskan barang barang jarahan itu satu persatu.

"Yang ini gue gak tahu nih ancer-ancer harganya Ber", sambil menunjukkan sebuah PC Tablet merek Fujitsu.

"Di dompet isinya cuma ini Ber, selebihnya kartu-kartu aja".

"Tex, lain kali kalo isi dompetnya kartu-kartu kayak gini, mendingan kita ajak turun tuh orang, ini kartu ATM, buat narik duit" Jawabku sambil mematahkan kartu ATM dan beberapa kartu Kredit dari bermacam bank.

"Ok deh, ini semua dibakar aja, yang lainnya kita duitin secepatnya Tex, biar cepet kelar"

"Ok brur, tapi dengan hasil kakap gini bolehlah kita istirahat bentar, Bang Kober udah kenal Si Lala temennya Suki yang di kamar sebelah kan?".

Lala sebenarnya cukup cerdas, sampai akhirnya belitan ekonomi keluarganya berhubungan dengan sindikat penjual perempuan yang membayar cash 10 juta untuk memboyong Lala, namun di balik semua itu, Lala sebenarnya sedang diperas, mucikari di sini menghitung semua biaya transportasi dan uang 10 juta itu sebagai pinjaman yang harus dibayar oleh Lala dengan menjajakan kehangatan tubuhnya. Sudah dua tahun Lala di sini dan hutang itu tampaknya tak pernah akan dapat dilunasi hingga ia menjadi nenek-nenek.

Aku bukan tidak mengerti keinginan Suki dan kawan-kawan senasibnya seperti Lala dan lain-lain untuk melarikan diri. Namun dihadapan sindikat dan jaringan yang kuat ini aku bukanlah apa-apa. Cukuplah kematian seorang perempuan muda yang ditemukan dalam sebuah koper di pinggiran kota sebagai peringatan. Aku tidak ingin meletakkan tanganku di pundak macan terlebih macan raksasa.

Malam ini rembulan penuh, kelembutan cahayanya membuatku teduh dalam kedamaian. Rembulanlah yang mengajariku tentang kelembutan kasih, hatiku ini bagaikan padang pasir, kesepian mencoba menyemaikan bibit luka, kerasnya kehidupan menanamkan bibit kebencian, apakah yang dapat kutuai?

Jika saja bukan karena lembutnya belaian bunda rembulan, tentu tidak akan pernah lahir bibit cinta dan kasih di gurun pasir tandus dalam hatiku.

Kubelai lembut rambut kusut Lala, mencoba menerjemahkan kelembutan kasih rembulan melalui jari kasarku.

"Tidurlah, mimpimu milikmu, aku tidak menyewa mimpi". []


______________________________

Inspirasi: Berandal Malam Di Bangku Terminal IWAN FALS

Gambar dari:

was posted @ Selasa, 13 February 2007

Posting Komentar

No Spam, Please.