kompak nekat sampai 12 tahun

Refleksi ringan tentang pernikahan 12 tahun, kisah nyata penuh kejujuran, humor, dan makna kebersamaan. Tetap kompak meski tak sempurna.

12 Tahun


Kalau dihitung kasar, 1 tahun = 365 hari. Maka 12 tahun itu ya sekitar 4.380 hari.

Dan begitu saja, tanpa saya sadari, sudah 4.380 hari sejak saya mengucapkan akad nikah di tanggal 11 November 2002. Rasanya kayak baru kemarin.

Saya ini orangnya pelupa. Bahkan sangat pelupa. Buktinya, saya baru sadar kalau kemarin adalah wedding anniversary, dan itu pun karena tak sengaja melihat status BBM istri saat sedang chatting. Reaksinya? Biasa aja. Gak ada protes. Gak ada kode. Apalagi marah. Dia sepertinya sudah paham banget siapa saya. Atau... ya mungkin sudah bosan berharap, wkwk.

Jangankan ulang tahun pernikahan, ulang tahun istri aja saya suka lupa. Tapi jujur, bukan karena gak sayang. Saya juga gak pernah anggap ulang tahun saya sebagai hari istimewa. Buat saya, ulang tahun cuma angka. Seringnya hanya berguna saat isi formulir atau cek umur buat daftar BPJS, sisanya? Ya lewat begitu saja.

Tapi tetap, 12 tahun ini bukan angka main-main. Ini adalah cerita tentang keberanian dua manusia untuk tetap kompak nekat, meski karakter mereka gak selalu cocok.


kompak nekat sampai 12 tahun

Cerita Lamaran Paling Gak Lazim

Saya masih ingat bagaimana dulu saya datang melamar sendirian ke rumah calon mertua. Nekat. Modal nekad dan niat baik. Gak ada rombongan. Gak ada acara resmi. Gak ngerti etika. Pokoknya langsung datang, duduk, dan nyerocos entah ngomong apa. Saya juga lupa isi obrolannya, yang saya ingat cuma satu: setelah saya selesai ngomong, ibu mertua nanya, "Keluarga kamu di mana?"

...hening.

Malu sih, iya. Tapi saya baru sadar kalau lamaran itu semestinya bukan solo karir. Reaksi keluarga saya? Jangan ditanya. Bukannya dapat simpati, saya malah diomelin, katanya, “Kamu tuh kayak anak ilang. Kayak gak punya keluarga di Makassar.”

Sakit, tapi ya bener juga sih. :)

Untungnya, gak lama setelah kejadian itu—sekitar dua atau tiga minggu kemudian—keluarga calon istri mengabari bahwa akad nikah akan dilaksanakan tanggal 11 November 2002. Kali ini, saya gak boleh datang sendirian lagi. Dan alhamdulillah, banyak yang ikut mendukung. Teman-teman, saudara, bahkan orang tua teman pun ikut mengantar. Ada sekitar 5 mobil dan beberapa motor yang konvoi hari itu.

Yang lucu, saya gak tahu pasti barang apa aja yang dibawa. Tiba-tiba sudah terkumpul bungkusan-bungkusan khas bawaan pengantin pria untuk seserahan kepada pengantin perempuan, konon isinya barang-barang keperluan dari ujung kaki hingga kepala. Yang saya ingat, saya sempat panik nyari sajadah karena katanya kurang, dan saya disuruh cari pohon tebu buat melengkapi “erang-erang” akhirnya pohon tebu saya dapatkan di belakang pos hansip Blok 1G Hartaco Indah Parang Tambung. Sekarang pos hansipnya sudah tidak ada, dan tanah kosong tempat saya petik tebu juga sudah berdiri rumah beton.

Rahasia Bisa Bertahan 12 Tahun

Kalau ditanya, “Gimana caranya bisa awet 12 tahun?” saya langsung jawab: “Tanya istri saya aja.” Serius.

Karena kalau mau jujur, saya ini orangnya angin-anginan, agak egois, dan kurang peka. Tapi istri saya sabarnya luar biasa. Selama 12 tahun ini, dia gak pernah ngelarang yang aneh-aneh. Gak pernah posesif atau marah gak jelas. Paling cuma nanya: “Pulang atau nginap?” atau “Kira-kira jam berapa pulang?” Itu aja.

Dan itu konsisten dari sebelum punya anak sampai sekarang. Dulu, kami sering ngopi bareng, dengerin musik, atau leyeh-leyeh sambil ngobrol kecil. Sekarang, aktivitas berubah. Seringnya nonton bareng film atau drama, lalu ngobrol kecil. Kalau obrolan serius, ya nunggu waktu yang pas. Karena ngobrol serius itu butuh mood.

Tentu, kami pernah bertengkar. Gak sedikit. Kadang karena hal sepele. Kadang karena beda pendapat. Kadang karena ego saya. Tapi ya begitulah, saya memilih gak cerita terlalu jauh soal itu—bukan karena ditutup-tutupi, tapi karena itu rahasia perusahaan, hehe.

Tapi satu yang saya tahu: selama ini, istri saya yang lebih banyak beradaptasi. Sementara saya? Masih sering berubah-ubah pikiran. Kadang hari ini bilang A, besok B. Dan saat dia mengingatkan, “Lho kemarin jawabannya A kok sekarang B?” saya jawab balik, “Jadi maunya A atau B?”

Duh, maaf ya...

Refleksi: Apa Itu Arti Pernikahan?

Kadang saya berpikir, apa sebenarnya makna pernikahan?

Apakah pernikahan itu tentang tanggal yang harus diingat? Kado yang harus disiapkan? Momen yang harus dirayakan?

Mungkin iya, buat sebagian orang.

Tapi buat saya, pernikahan adalah tentang bertumbuh bersama. Tentang menjadi versi terbaik dari diri kita, bukan demi pujian, tapi demi saling menjaga.

Pernikahan juga bukan soal siapa yang paling romantis, tapi siapa yang paling tahan banting dalam hal sabar, menerima, dan terus mau belajar memahami.

12 tahun ini bukan perjalanan yang mulus. Ada luka, ada kecewa, ada tangis. Tapi semua itu seperti hujan yang menyuburkan. Karena setelah hujan, biasanya tumbuh sesuatu yang lebih kuat.

Terima Kasih

Terima kasih sudah bersabar. Terima kasih sudah tidak menyerah. Terima kasih sudah menjadi rumah paling nyaman buat saya pulang.

Saya ini jelas bukan suami terbaik. Tapi entah kenapa, kita bisa kompak nekat sampai 12 tahun ini. Dan semoga, kalau umur kita panjang, kita bisa terus nekat bareng sampai tua.

Selamat hari yang (harusnya) saya ingat. 😅

Tidak Harus Sempurna, Cukup Saling Bertahan

Setiap rumah tangga punya kisahnya sendiri. Gak perlu sempurna. Gak perlu romantis setiap hari. Yang penting, tetap saling mau bertahan. Karena sesungguhnya, pernikahan bukan tentang siapa yang paling cinta di awal, tapi siapa yang paling sabar di tengah jalan.

Dan kalau kamu juga sedang berjuang di pernikahanmu, percayalah... kamu tidak sendiri.

2 komentar

  1. wkwekwkwkkkk....wajar klo aki aki mah klo sering lupa... cakar aja teh cakarrrrr
  2. Cakar aja cakar :D cakar sayang tapi hehehehe
No Spam, Please.