Kenangan Yang Dibawa Oleh Sisa Hujan di Pagi Hari

Ketika kita memberi sesuatu kepada orang lain, Kita tidak hanya memberikan sesuatu itu, tapi Kita juga memberikan energi bersama dengan pemberian itu
penari Mappadendang area wisata datae sidrap


Hujan yang dari malam tadi turun, masih menetes pagi ini. Saya bangun lalu masak air dan membuat kopi pahit, gula adalah barang mewah saat itu. 

Sedikit kicau burung terdengar dari dahan pohon jambu mete yang banyak tumbuh di area ini mengajak saya keluar kamar, sesekali kicaunya terdengar terbawa angin yang terasa lebih keras dari biasanya. 

Kursi panjang terbuat dari beton berjajar di hadapan saya, 5 meter dari panggung beton yang dihiasi pecahan dan lubang karena peluran yang rusak, rumput liar tumbuh di pecahan lantainya. 

Cat warna biru muda yang memudar dan terkelupas tidak membuat suasana panggung semi terbuka di samping kamar yang saya tinggali ini menjadi lebih ceria. Sepi, dingin dan suram.

Gerbang taman wisata Datae Sidrap Sulawesi Selatan
 Gerbang taman wisata Datae 

Tidak jauh dari panggung, di belakang panggung agak rendah posisinya  terdapat kolam renang yang setengah jadi, belum terisi air, mungkin kalau musim hujan kolam itu akan menjadi alternatif untuk saya mandi dan berolahraga sore. :)

Kopi pahit mengalirkan semangat dan mengusir dingin. Saya hisap lintingan puntung rokok yang kemarin siang saya punguti dari pinggir jalan.  Menghemat uang dengan tidak membeli gula bukan lantas punya uang untuk membeli rokok, ada kebutuhan lain yang lebih penting, antara lain minyak tanah, minyak goreng, beras, garam dan kopi.

Di taman PKK di sekeliling 11 rumah adat dalam area Wisata Datae ini saya bisa mendapatkan buah asam, cabai, bawang, bahkan saya menemukan kentang untuk sekadar cemilan atau lauk nasi. 

Saya dan teman saya pernah sekali menuruni lembah menuju sungai sekadar ingin tahu apakah kami bisa mencari ikan atau apa saja yang bisa menjadi makanan. Hanya sekali saja, selain karena jauh dan melelahkan, saat itu sungainya juga lebih mirip selokan kecil dan nampaknya tidak ada ikan hidup di sana.

Di dalam areal wisata ini ada beberapa pohon nangka yang sudah berbuah, ini juga menjadi menu pilihan. Ada juga pohon sukun yang buahnya selain bisa disayur atau digoreng, dan masih banyak pohon lainnya seperti mangga dan jambu mete, apa yang disediakan alam di sekitar cukup untuk saya berdua hidup seminggu dua minggu sebelum ayah teman saya datang membawa uang untuk menambah logistik dan upah saya.

Tidak jauh dari Lokasi, menyebrangi jembatan di jalan yang ada monumen peringatan kecelakaan berisi rongsokan mobil (sekarang monumen itu sudah tidak ada) terus menyusuri jalan ke arah Kota Sidrap ada perkampungan. Di sana kami mengenal beberapa orang pemuda yang menjadi teman kami, salah satu yang masih saya ingat bernama Allang dengan rambut gondrongnya. Dengan gitar pertemanan terjalin akrab mesti tidak sering bertemu.

Saya sering meluangkan waktu pagi dan sore di panggung permanen ini, untunglah saya membawa gitar dan beberapa buku untuk menemani saya.

Sebentar lagi siang. Saya mesti kembali ke pekerjaan saya; membuat mal dari bambu dan kawat untuk menutup badan patung lalu mengaduk semen dan pasir guna mengisi bagian-bagian patung-patung penari Mappadendang yang memperagakan orang menumbuk padi saat panen raya. 

Patung itu sendiri dibuat oleh Sakka Ali Jatimayu, beliau almarhum salah seorang seniman dan perupa di Makassar. Saya diajak oleh anak beliau untuk ikut dalam proyek pembuatan patung ini, sekitar 2 bulan saya membantu, kemudian kembali ke Makassar untuk urusan ujian semester kuliah.

 Foto dari Brosur Pameran Pelukis Muda di TIM Tahun 1977 

Saya menikmati profesi sementara ini, walaupun hanya kebagian menambal badan dan mengisi tubuh patung yang sudah setengah jadi, namun mengetahui bahwa patung ini adalah sebuah karya seni yang akan bertahan lama saya menjadi bersemangat mengerjakannya. Selain itu, pekerjaan ini lebih menjanjikan daripada keluyuran setiap malam mengamen di Pantai Losari.

Tentang Sakka Ali Jatimayu sedikit yang saya tahu mengenai beliau walau saya juga sempat tinggal beberapa lama di rumahnya di Perumnas Tidung Makassar. Pak Sakka Ali ini juga jarang berada di Makassar, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di Bantimurung, Maros Sulawesi Selatan.

Saya hanya mengenal beberapa anak-anaknya yang tinggal di Tidung, seperti Kak Ita, Labella Nakanaya, Raden, Aco dan saudara-saudaranya yang saya lupa namanya.

~ Selasa, 10 Agustus 2021. Mengenang suatu pagi sehabis hujan di tahun 1997 @ Datae - Lawawoi, Kec. Watangpulu Sidrap.

---------

Kenangan ini mengingatkan saya tentang makna memberi. Karena saat itu hidup saya banyak tergantung pada pemberian dari orang lain. Ragam macam pemberian saya terima dan dari sana saya belajar. 

Ketika kita memberi sesuatu kepada orang lain, Kita tidak hanya memberikan sesuatu itu, tapi Kita juga memberikan energi bersama dengan pemberian itu. 

Bila Kita memberi dengan penuh kesenangan dan cinta, maka energi yang Kita berikan pada orang tersebut adalah positif, rasa senang. Sebaliknya, jika pemberian tidak didasari oleh rasa senang, misalnya keterpaksaan, maka energi yang Kita kirimkan bersama pemberian Kita itu adalah energi negatif yang akan menarik saldo pada rekening bank emosi kita.

:)




5 komentar

  1. makasih kak,,,saya anak.dari bapak sakka ali jatimayu
  2. makasih kak,kebetulan saya anak.dari ayahanda sakka ali jatimyu
    1. Hai, siapa nih? Saya di lokasi tinggal sama Raden, sudah lama sekali saya tinggalkan Makassar 😁🙏
  3. Saya ingin bersilaturahmi dengan putra putri pendiri DKM. Ayah saya adalah salah satu seorang pendiri Dewan Kesenian Makassar. Andi Hisbuldin Patunru.
    1. silakan, mereka tinggal di makassar, saya sudah lama tidak bertemu lagi dengan mereke
No Spam, Please.