PANITIANYA CURANG! (karena saya tidak menang)

Apabila saya kalah, saya tetap berterima kasih kepada Tuhan karena sudah diberi kesempatan berpartisipasi di ajang ini. Kekalahan tidak akan melemahkan semangat saya, justru akan memicu saya untuk belajar lebih keras lagi agar menjadi manusia yang lebih baik lagi

PANITIANYA CURANGG!!! (... karena saya tidak menang)

PANITIANYA CURANG
Tahun 1987 saya sempat ikut ajang Junior Jateng’s Got Talent di daerah Srondol, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. Selama 2 hari 1 malam kami dikarantina dan dinilai oleh dewan juri. Semua peserta berlomba-lomba menunjukkan bakatnya. Bakat akademik, olahraga, seni dan segala macam. Kalo tidak salah total peserta jumlahnya 30-an, perwakilan dari seluruh kabupaten yang ada di Jawa Tengah.

Ada penjurian terbuka dan tertutup gitu deh.... Jadi selain kami harus presentasi dan mengerjakan soal ini-itu, kami juga harus “jaga imej” sepanjang periode karantina itu, termasuk saat makan, mandi, beribadah dan bersosialisasi dengan lingkungan tempat kami tinggal untuk sementara.

Penjurian diam-diam ini yang menjadi momok sesungguhnya. Karena sifatnya yang tertutup, dan kami tidak tahu pasti mata mana yang tengah mengawasi kami, dari puluhan pasang mata yang tertuju pada kami. Eihhh, kayak selebriti aja gayanya...

Saya tidak yakin nilai saya baik di penjurian ini. Tetapi di penjurian terbuka saya mampu menampilkan performa saya yang paling prima. Tentu saja ini pendapat saya sendiri! Yang paling keren, tentu saja karena saat itu suara saya masih lumayanlah, dan saya menyanyikan lagu tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Jurinya manggut-manggut dengan mimik puas.

“Siapa yang mengajari kamu lagu itu?”

“Oh, saya belajar sendiri.”

“Tidak ada yang mengajari?”

“Sebenarnya ada, tetapi bukan dengan sistem pengajaran klasikal di kelas...”

Kebetulan di daerah saya ada acara khusus untuk anak-anak di Radio Dian Swara. Tayang seminggu sekali tiap Ahad pagi. Lewat acara tersebut, saya belajar lagu ini. Kebetulan penyiarnya dulu mantan penyanyi cilik, jadi asyiklah diajari step by step, meski hanya lewat suara. Menurut saya, saya dapat poin bagus di section ini.

Tapi ternyata orang lain yang memenangi ajang tersebut. Hmmm, baiklah....
***

Tahun 1990 kesempatan saya ikut ajang serupa pupus karena ada teman yang memang lebih layak. Minder saya. Dari segala sisi dia jauh di atas saya. Terutama dari sisi akademik, karena cerdas dan pinternya setara Pak Habibie, dan konon sudah dipersiapkan sebagai calon Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral setelah era kabinet Pak Jokowi.

Kesempatan terakhir ikut ajang Got Talent datang lagi pada 1993. Wah, yang ini jauh lebih siap saya.

Sejak naik kelas 2, saya sudah mempersiapkan diri. Termasuk meminta dengan sedikit memaksa kepada orang tua agar dibelikan motor GL100 bekas untuk mendukung mobilitas saya baik di sekolah maupun di kegiatan pendukung lainnya, seperti kursus sablon, membuka usaha sablon, menjadi agen 3 penerbit buku pelajaran, mengurus koperasi siswa, membantu jadi marbot musala sekolah, menyelenggarakan seminar umum di GOR Mahesa, dan menonton film extra show setiap Sabtu siang di Bioskop Rayuan... Eh, yang terakhir bercanda, hahaha...

Lokasinya sama dengan kegiatan enam tahun yang lalu. Hanya waktunya yang lebih panjang. Ajang terakhir ini, kami dikarantina selama 3 hari 2 malam.

Rabu pagi acara dibuka oleh Pak Gubernur, lalu acara ramah-tamah atau semacam itu, jam 11-an baru masuk acara technical meeting dan penandatangan kontrak-kontrak antara peserta dan juri serta panitia.

Di akhir hari Kamis, peta kekuatan kandidat yang akan memenangi ajang JGT semakin mengerucut. Setidaknya ada 2 kandidat terkuat.

Kandidat pertama dari Kabupaten Magelang, sekolahnya di SMA Taruna Nusantara (sebut saja TN), tubuhnya atletis mirip tentara, menang telak di semua cabang olahraga yang diujikan, dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa. Kata-katanya terstruktur dengan baik, dengan artikulasi jelas dan penekanan yang tepat pada kata yang hendak ditonjolkan.

Kandidat kedua dari Kabupaten Banjarnegara (sebut saja BN) saya lupa sekolahnya di SMA mana, aktivis mushola sekolah dan masjid alun-alun, hafal Al-Quran beberapa juz, terutama juz 30. Kebetulan dia adalah teman sekamar saya, sehingga saya berkesempatan mendengarkan curhatannya.

Entah darimana informasinya, katanya ketua panitia sangat pro kandidat TN, karena dia ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus yang dikelola militer itu.

Di sisi lain, masih ada harapan untuk BN, karena ketua panitia adalah seorang muslim puritan yang fanatik, sementara TN meski memiliki sekian banyak kelebihan dari BN, tetapi dia beragama Nasrani.

Isu sensitif ini digulirkan BN secara klandestin. Sebagian peserta yang beragama Islam sempat terprovokasi. BN semakin bersemangat.

"Kalo sampai yang dimenangkan panitia adalah peserta non-muslim, tidak ada pilihan lain, kita harus menolak hasil pemilihan yang zalim ini. Kalau perlu kita kerahkan people power!!"

"Bro, ingat lho, kita sudah tanda tangan kontrak di awal, bahwa keputusan panitia bersifat final dan tidak bisa diganggu gugat..."

"Itu kalo semuanya berjalan dengan fair dan tidak ada kecurangan. Kalo kita kalah, itu artinya ada kecurangan yang sistematis, terstruktur, dan massif!"

Waduhhh....

Section terakhir digelar hingga jam 11 pada hari Jumat. Setelah itu juri dan panitia akan rapat menentukan pemenang. Seusai salat Jumat ada makan siang prasmanan, diselingi acara hiburan, dan ditutup dengan seremoni pengumuman pemenang.
PANITIANYA CURANG

Di section terakhir, kami dipanggil 3 demi 3 peserta, menghadapi 3 orang juri dan panitia (pada section sebelumnya panitia tidak terlibat).

Ini saat yang paling dramatis dan mendebarkan. Ketua panitia diapit 2 orang juri di sisi meja. Dan saya diapit TN dan BN di sisi yang lain!

Closing statement TN sangat tertata, jernih dan lugas. Tidak ada kesan emosional. 
"Kalah atau menang bukanlah tujuan utama saya di ajang ini. Apabila menang saya akan tetap rendah hati dan mematri ajang ini sebagai kenangan terindah yang akan memotivasi saya sepanjang usia saya yang tersisa," katanya. 

"Dan apabila saya kalah, saya tetap berterima kasih kepada Tuhan karena sudah diberi kesempatan berpartisipasi di ajang ini. Kekalahan tidak akan melemahkan semangat saya, justru akan memicu saya untuk belajar lebih keras lagi agar menjadi manusia yang lebih baik lagi."

Closing statement BN juga tertata dan jernih. Persis Aa Gym lagi syuting MQ di RCTI. Tapi ada balutan emosional sedikit. Dan ada kutipan ayat atau hadist yang saya lupa persisnya.

Closing statement saya yang paling menyedihkan. Kedengaran seperti pengakuan kalah. Karena memang, meski sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, saya mesti mengakui bahwa performa lawan-lawan saya lebih mumpuni. Apa boleh buat.

Giliran ketua panitia memberi feedback, intinya menyemangati kami semua. Dan dari kata-katanya, saya jadi percaya gosip yang dihembuskan BN bahwa beliau condong ke TN, meskipun tidak jelas juga apakah alasan kecondongannya terkait anaknya yang mau disekolahkan di Taruna Nusantara, atau yang lainnya.

BN hatinya mencelat. Entah kenapa saya didiemin saja sekeluarnya dari ruang interview. Saya biarkan saja ia bergegas ke kamar duluan. Saya menyapa beberapa kawan dan akhirnya memutuskan langsung bergeser ke masjid karena sudah masuk saat salat Jumat.

Masjid itu kecil saja ukurannya. Tetapi cukup memadai menampung jamaah. Yang membuat kami terperangah, karena ternyata BN datang ke masjid dengan dandanan ustaz dan tanpa ragu-ragu mengambil tempat khotib.

Pertandingan belum selesai, Bro! Seolah itu yang diisyaratkan raut wajahnya yang penuh tekad. Sembunyi-sembunyi, saya kasih kode jempol untuk menyemangati, lalu saya mencari posisi strategis di belakang agar bisa memetakan situasi.

Khotbahnya singkat saja. Tentang integritas Umar bin Abdul Aziz yang mematikan lentera ketika anaknya datang untuk membicarakan masalah keluarga.

Di deretan agak belakang, saya melihat beberapa juri (atau panitia?) mengangguk-angguk dan dari wajah mereka saya tahu sedang mempertimbangkan untuk menambah poin BN.

Semoga saja BN beruntung, dan panel penentuan pemenang belum ditutup, masih dilanjutkan seusai Jumatan.

Hingga akhirnya tiba saat pengumuman saya tidak tahu pasti kejadian sesungguhnya.

Tetapi yang terpilih sebagai pemenang adalah TN. Di peringkat kedua BN, dan peringkat ketiga peserta dari Kota Semarang.

Saya tahu BN kecewa. Saat beberes perlengkapan di kamar dia mengungkapkannya ke saya. "Panitianya curang, Her. Seharusnya aku yang menang."

Saya diam saja. Memang selisih skor BN dan TN tidak banyak. Sementara skor BN dan peringkat ketiga terpaut agak jauh.

Hingga berpisah di pintu gerbang, dengan menggeret koper kami masing-masing, saya tak bisa berkomentar apa-apa, selain berangkulan dan saling bersalaman.
Menerima kekalahan itu tidak mudah. Dan sepertinya lebih tidak mudah lagi untuk orang-orang yang memiliki banyak kelebihan. Atau merasa seperti itu.
Lebih nyaman menjadi seperti saya, yang posisinya di lapisan menengah ke bawah. Sehingga ketika kalah lebih bisa menerimanya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.

Meskipun BN teman saya, saya tidak terlalu setuju dengan tuduhannya bahwa panitia curang, tanpa bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kemenangan dan kekalahan adalah kehendak Allah. Seperti juga sehelai daun yang jatuh ke permukaan bumi, dia jatuh tidak semaunya dia.

Itu menurut pendapat saya....

***

Penulis: Heri Winarko


2 komentar

  1. Tulisannya bagus, Om. Menerima kekalahan itu tidak mudah. Dan sepertinya lebih tidak mudah lagi untuk orang-orang yang memiliki banyak kelebihan. Atau merasa seperti itu <-- kemudian menjadi tidak sportif dan selalu curigation dengan segala keputusan yang ada.
    1. Itu soal karakter seseorang sih jatuhnya :D dewasa atau tidak dan bisa jadi urusan psikologi juga.

      Iya, teman saya lagi mulai nulis-nulis, sekalian arsip dan nambah-nambah postingan hehehe
No Spam, Please.