Penyaji Rindu Yang Semu

"Bukan keyakinan yang membuat kita lemah Wiek, tapi keraguan" ucapku perlahan, mencoba membuat jeda perang batinnya dan mengajaknya jiwanya kembali hadir. Tubuhnya memang ada di hadapanku sejak tadi, tapi sejak tadi pula aku merasa sendiri. Perlahan ia mengalihkan pandangan, bukan kepadaku, tapi kepada cangkir kopinya. Setelah menghirup kopi dengan santun, tatapan teduh itu kembali menghadirkan jiwanya. "Yang terpenting saat ini dan seterusnya bukan awal dan akhir Bang, tapi bagaimana saya ikhlas menghayati peran yang saat ini kebetulan saya perankan". Mata teduh itu kini menatapku, dan aku tahu, dia bukan lagi Wiwiek yang merindukan aku.
"Jika keyakinan mampu membuat kita menjadi kuat, maka keyakinan pulalah yang mampu membuat kita menjadi lemah." ucapnya lirih.

Cahya Meythasari saat mendaki gunung Rinjani

Siang semakin matang, mega jingga menyambut matahari dan perlahan cahayanya digantikan lampu-lampu jalan. Aku dan dia telah sekian jam berdebat dalam diam. Secangkir ekspresso sudah tandas, selanjutnya hanya kopi reguler yang aku pesan.

Dia masih memandang ke arah matahari tadi tenggelam, sedang kalut dengan perang batinnya sendiri.

"Bukan keyakinan yang membuat kita lemah Wiek, tapi keraguan" ucapku perlahan, mencoba membuat jeda perang batinnya dan mengajak jiwanya kembali hadir.
Sosoknya memang ada di hadapanku sejak tadi, tapi sejak tadi pula aku merasa sendiri.

Perlahan ia mengalihkan pandangan, bukan kepadaku, tapi kepada cangkir kopinya.
Setelah menghirup kopi dengan santun, tatapan teduh itu kembali menghadirkan jiwanya.

"Yang terpenting saat ini dan seterusnya bukan awal dan akhir Bang, tapi bagaimana saya ikhlas menghayati peran yang saat ini kebetulan saya perankan".

Mata teduh itu kini menatapku, dan aku tahu, dia bukan lagi Wiwiek yang merindukan aku.

Beberapa waktu lalu, suasana Dayeuhmanggung Garut seharusnya menyatukan kami dalam kesegaran dan keindahan Gunung Cikuray. Sayangnya saat H-1 keberangkatan aku membatalkan sepihak rencana yang telah lama kami sepakati. Setelah itu komunikasi kami memburuk, hingga baru saat ini kami bertemu kembali di teras kafe lantai 5 pusat pertokoan.

"Wiek, mungkin aku penyaji rindu yang semu, tapi..." dia letakkan jari telunjuk di bibirnya, matanya masih menatapku datar namun dari balik kacamatanya aku melihat sedikit kilatan air mata yang berhasil lolos.

"Saatnya kita pulang Bang, saya tahu Abang tidak bisa melihat perempuan menangis, tapi seperti Abang ketahui, saya tidak suka dikasihani. Besok kita sambung lagi, sekarang saya ingin sholat maghrib".

"Rapuh dan kuat bukanlah alasan saat takdir Tuhan sudah berjalan."
Pengirim:
My Dearest Wiwiek
+62858858xxxxx
Diterima:
04:21:31
26-05-2017

Hanya pesan itu yang kuterima setelah melalui detik-detik malam paling menyiksa. Sedemikian hebat arti kata "besok" yang dia ucapkan sebelum kami tinggalkan kafe dan berpisah di teras masjid plaza.

.....
Status Facebook terakhir yang dapat kubaca sebelum diblokir untuk mengaksesnya.

Wiwiek
26 Mei pukul 20:36 · Kota Bekasi ·


Karena bungapun tau kapan dia mekar dengan indah dan kuncup seperti mayat.
Ijinkan aku pejamkan mata ini sebentar saja. karena aku tau bagaimana kejamnya kecewa menyapa dan menepisnya.
Aku sangat paham bagaimana cara bahagia dan tidak.
Aku sangat tau di mana dan kapan aku harus nyaman dengan sebuah senyuman.
Bahkan aku pun sangat mengerti bagaimana caranya agar tetap terlihat kuat berdiri atau bahkan harus bersimpuh tanpa nyawa.

------


Fiksi yang terinspirasi dari tulisan-tulisan Wuriami 
narablog di http://wuriami19.wagomu.id
Foto: Cahya Meythasari saat mendaki gunung Rinjani dari www.dzargon.com


Posting Komentar

No Spam, Please.