Bakat Bukan Takdir

"Setiap anak tumbuh berkembang mengarah pada cita-cita yang paling banyak memberinya energi kehidupan". Kata-kata ini saya dapat dari Buku Bakat Bukan Takdir. Saya paham kalimat itu, tapi kalimat ini masih nempel di otak seperti menggelitik nyari gara-gara :D

Sulit bagi kita untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan "yang paling banyak memberinya energi kehidupan". Mungkin kita bisa berkaca dan menanyakan hal itu pada diri kita sendiri. Apa yang yang paling banyak memberikan diri kita energi kehidupan? Kekayaan? Jabatan? Banyak teman? Prestasi yang gemilang? (kutipan postingan sebelumnya)

Pertanyaan seperti itu akan memancing banyak jawaban filosofis sampai pragmatis, tidak ada yang benar-benar salah atau salah-salah benar karena kita tidak akan pernah bisa benar-benar menilai kebahagiaan secara eksak, atau mungkin Anda bisa? :)

Bakat Bukan Takdir

Kalau dalam pandangan sotoylogi, sebenarnya untuk mengetahui apa "yang paling banyak memberikan energi kehidupan" adalah soal menjalani hidup sesuai passion, mengerjakan apa yang kita sukai, atau seperti kalimat ideal "menjadikan hobi sebagai profesi". 

Namun di masa depan yang menurut "Buku Anak Bukan Kertas Kosong" sebagai zaman kreatif, "menjadikan hobi sebagai profesi" semakin mungkin untuk terwujud. Kenapa? karena keterbatasan sumber daya alam, semakin majunya teknologi dan berbagai hal lainnya.

Berbicara mengenai passion, definisi secara sederhana dan paling mendekati adalah bermakna gairah atau keinginan. Jika seorang anak senang menggambar, jangankan buku pelajarannya, tembok rumah pun menjadi wadahnya untuk "berkarya". 

Reaksi terhadap anak ini akan beragam. Beberapa orang akan mungkin memandang bahwa passion-nya menggambar, menggambar membuatnya bahagia, menggambar adalah cara dia mengekspresikan apapun yang mendorongnya hingga ia melakukan itu. 

Jika awalnya gambarnya hanya corat coret tidak jelas, lama-kelamaan mulai membentuk dan dapat dinikmati oleh orang lain. Potensi merangkai coretan menjadi gambar-gambar yang dinikmati oleh dirinya dan kemudian orang lain ini yang disebut bakat oleh buku Bakat Bukan Takdir.

Pengertian bahwa bakat adalah takdir menjadi tidak relevan karena semua anak berpotensi, bakat adalah potensi yang terwujudkan, tanpa wujud yang mengejawantahkan potensi maka itu tetaplah menjadi potensi, dibutuhkan karya untuk menyebut seorang anak berbakat.

Saat saya remaja, jangan tanyakan kepada saya mengenai cita-cita. Mungkin saat itu saya tidak akan bisa menjawabnya dengan serius, tapi bahkan sampai sekarangpun saya kemungkinan besar saya akan mempertanyakan dan memperjelas dahulu apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata "cita-cita".

Apakah saya mempertanyakan definisi dan penyamaan persepsi dahulu sebelum menjawab? atau karena saya enggan menjawab pertanyaan sederhana itu?. 

Sepertinya pertanyaan terakhir lebih tepat, saya enggan membicarakan cita-cita. Kenapa? Apakah saya seorang pesimis yang enggan menetapkan target-target jangka pendek dan menengah untuk hidup saya? 

Maaf jika jawaban yang saya akan berikan terdengar menggelikan, tapi sepanjang hidup saya, saya sebisanya hanya melakukan apa-apa yang sekiranya "menyenangkan" bagi saya. 

Menyenangkan bagi saya adalah jika ada hal  yang memancing rasa ingin tahu, ada sesuatu hal yang baru, menantang cara-cara baru / membebaskan saya mempelajarinya dengan cara saya sendiri, menawarkan keseruan dan wajib memberi makna minimal bagi hidup saya dan seterusnya.

Dari sanalah saya menemukan "energi kehidupan", motivasi hidup yang terus membuat saya tetap dapat "menari" dan menemukan bahagia. Cita-cita? Pada akhirnya saya mesti jujur bahwa saya tidak paham apa arti dari kata itu :D
 

Posting Komentar

No Spam, Please.