Mencoba memahami "kelangkaan BBM Subsidi"

"Kayaknya hari ini semua SPBU gak jual premium, motorku diisi Pertamax gak apa-apa yah? seliter 12 ribu cuma nambah 2 garis di meteran bensin". Itu chat istri saya pagi ini, yah saya sudah menduga akan kelangkaan BBM di wilayah Babelan tapi gak secepat ini.

Pertanyaan "Kenapa terjadi kelangkaan minyak di negeri yang kaya sumber daya alam minyak buminya ini?" tentu muncul, kemudian disusul pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih bersifat vonis daripada pertanyaan, semisal:

Apakah pemerintah (atau PT Pertamina) tidak lagi mampu memproduksi BBM untuk rakyat?

Ataukah ada oknum yang menjual BBM subsidi kita dengan cara ilegal ke luar negeri?

Atau…apakah pemerintah sudah tidak mampu lagi mengatur sistem managemen BBM?.

Iya saya dan mungkin Anda hanya bisa bertanya, Mengapa dan ada apa? mungkin kita memang tidak mengerti segala macam urusan pengaturan BBM. Saya tidak tahu bagaimana cara Pertamina mendistribusikan dan mengelola BBM hingga mendistribusikannya sampai ke SPBU terdekat di kampung saya.

Siapapun bisa heran dan bertanya mengapa dan mengapa ini bisa terjadi. Siapapun bisa mengeluh kepada pemerintah dan bertanya ke mana pemerintah di saat kebutuhan BBM yang diperlukan seakan habis?

Mari kita dengar penjelasan dari pihak Pertamina:
"Fenomena antrean dan disusul habisnya BBM bersubsidi pada sore hari di SPBU bukan merupakan kelangkaan BBM, tapi konsekuensi dari penyaluran BBM bersubsidi yang disesuaikan dengan kuota yang tersedia." (Republika)

Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan bahwa UU No. 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014 telah disahkan, dimana volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL. Untuk menjalankan amanat Undang-Undang tersebut, maka BPH Migas telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Pembatasan Solar dan Premium agar kuota 46 juta KL bisa cukup sampai dengan akhir tahun 2014.

Kuota yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar 46 juta kilo liter, berkurang dari yang ditetapkan dalam APBN 2015 sebesar 48 juta kilo liter.APBN-P 2014 tegas mengamanatkan kuota BBM bersubsidi tidak boleh melampaui batas yang telah ditetapkan. Dengan kondisi tersebut maka hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan Pertamina.

Pertama yaitu menyalurkan BBM bersubsidi secara normal dengan konsekuensi kuota BBM bersubsidi habis sebelum akhir tahun, yaitu pertengahan November untuk Solar dan pertengahan Desember untuk Premium. Pilihan itu mempunyai konsekuensi bahwa pada akhir tahun masyarakat harus membeli BBM non subsidi. Sementara pilihan kedua, adalah mengatur volume penyaluran setiap harinya sehingga kuota BBM bersubsidi bisa cukup hingga akhir tahun.

Secara teknis,Pertamina sesuai Surat Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 memutuskan untuk mengambil opsi pengaturan BBM bersubsidi secara prorata sesuai alokasi volume BBM bersubsidi untuk masing-masing SPBU dan lembaga penyalur lainnya yang telah dilakukan terhitung sejak 18 Agustus 2014. Bahasa mudahnya dikuota atau dijatah :)

Hingga Juli 2014, persediaan premium tinggal 42 persen dan solar bersubsidi tinggal 40 persen dari kuota tahun ini. Untuk premium diperkirakan akan habis pada 19 Desember 2014 dan solar bersubsidi pada 30 November 2014. (Kompas)

Coba simak hitung-hitungan kasar dari Menteri ESDM:
Kalau membuat premium satu liter biayanya sekarang Rp 12.000. Kita jual ke publik premium Rp 6.500, artinya ada sejumlah 5.500 ditalangi pemerintah. Solar produksi Rp 12.500 dijual Rp 5.500 itu Rp 7.000 disubsidi. Kondisi ini semakin parah karena BBM bersubsidi banyak dinikmati orang kaya. Pemerintah tidak menutup mata masih banyak mobil mewah mengisi BBM subsidi. "Kalau disubsidi terus ini orang kaya masih menikmati. Punya mobil Fortuner, Land Cruiser disubsidi negara itu tak masuk akal," tegas Jero Wacik.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlQvJcZ5O4YfSN5IofXQpoHX4uhBhAiaIx4fy63je9YVtTJI76T6zu5WyTfZ7M1JnfAbhz23SsM5WZDtFw1TZzWMRKM_WuKRpqa3KW0MeLsR0QPWDoCWPxcrN5RTmjq1nZ9N5qPgVYHF8/s1600/Premium+Habis.jpg

Oke saya paham BUMN bukan bicara soal rugi dan untung tapi soal melayani warga negara karena Pasal 33 UUD: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. tapi coba simak berita "Hindari Solar Nonsubsidi, Pengendara Rela Ganti Mobil" yg disoroti Kompas, soal layak tidak layak mereka menikmati BBM subsidi mungkin perdebatan akan panjang, yang saya lihat jelas efek dari pembatasan BBM subsidi akan lebih terasa bagi golongan menengah ke atas dan bukan pada rakyat kecil yang sering dijadikan alasan pemberian subsidi BBM oleh pemerintah. Perdebatan soal ini ujung-ujungnya akan melenceng ke arah distribusi BBM Subsidi yang saat ini tidak tertata dan tidak ada sanksi yang bersifat penjera jika pemilik mobil mewah mengkonsumsi BBM Subsidi.

Masih Layakkah BBM subsidi dipertahankan?

Saya? jelas mendukung pancabutan subsidi BBM secara menyeluruh, alihkan subsidi BBM pada subsidi yang betul-betul diperlukan "rakyat kecil", soal seperti apa bentuknya urusan anggota DPR dan pemerintah yang wajib memikirkan bentuk subsidi ini, mereka digaji untuk itu kok.

Setahu saya subsidi dibayarkan pemerintah melalui kas negara yang berasal dari pajak dan hutang, saya kok gak rela uang pajak masyarakat dan hutang negara ini justru dikucurkan untuk mensubsidi orang kelas menengah ke atas melalui subsidi BBM yang model sekarang. Jika saja nanti ada pengaturan yang lebih jelas dan kuat dalam mengatur penggunaan BBM bersubsidi mungkin saya akan berubah pikiran :)

So, saat melihat antrian panjang, saya akan memilih mengisi Pertamax seperti istri saya, cukup 1 liter lalu menambahkan premium dari penjual eceran di pinggir jalan. :)

Sumber contekan:

Posting Komentar

No Spam, Please.