tentang tarawih

tentang tarawih
tentang tarawih

Saat malam pertama ramadhan 2011, saat shalat tarawih pertama dilakukan sebagian saudara muslim di nusantara, saya sedang berkunjung ke rumah salah satu orang tua keluarga dari ayah saya, saya biasa menyebutnya Puang (secara garis darah beliau sejajar dengan kakek buyut saya).

Dalam pengamatan saya, umur beliau mungkin sudah 70 tahun lebih, Saya sholat tarawih di rumah saja, jawabnya ketika salah seorang menantu berpamitan untuk sholat tarawih.

Kunjungan saya adalah kunjungan kekeluargaan, sowan, ziarah, silaturahim, apalah namanya adalah bertujuan bertemu sebelum ramadhan tiba, saling memaafkan dan bertukar informasi mengenai kabar keluarga dan lainnya.

Beliau sempat bertanya sedikit kepada menantunya tentang sholat witir, apakah jika seorang makmum yang telah ikut sholat witir berjamaah saat tarawih masih boleh mengerjakan sholat lainnya seperti tahajud sebelum sahur dan shalat sunah lainnya. Sang menantu menjawab boleh dan jika mampu dapat mengulangi lagi sholat witir di rumah sebagai penutup sholat sebelum masuk waktu sholat subuh.

Saya tidak berkomentar apa-apa tentang pertanyaan dan jawaban tersebut. Dalam keluarga kami, saya tidak pernah dimintakan pendapat mengenai masalah ini, karena mereka tahu, saya masih sering meninggalkan sholat wajib, apalagi sholat tarawih yang hukumnya sunah.

Dari kunjungan malam itu banyak pelajaran yang saya dapat. Banyak diskusi batin yang terjadi, seperti apakah shalat tarawih itu termasuk sholat sunah yang masuk dalam kategori harus berjamaah seperti sholat sunah idul fitri, idul adha, istiqosah dst. Bagaimana hukumnya mengulang sholat sunah, yang setahu saya tidak ada larangan mengulang sholat wajib, apalagi jika yang diulang sholat sunah (analogi).

Saya sudah sering mendengar perdebatan panjang mengenai sholat tarawih, saya kira sepanjang masing-masing meyakini apa yg dilakukannya adalah ibadah dan hanya Allah yang berhak menilai ibadah sepanjang itu masih dalam koridor syariah ya monggo, ada yg berpendapat tarawih sunah muakkad berjamaah, ada yg mengutamakan tarawih sendiri di rumah atau di masjid yah terserah. 

Yang berjamaah ada yang mempermasalahkan jumlah rakaat, ragam bacaan dan shalawat saya kira juga tidak perlu seperti itu. Kembali pada prinsip bahwa hanya Allah yang berhak menilai ibadah kita, jadi sama-sama saling introspeksi diri, kewajiban manusia adalah mengingatkan, tausiah dalam kebaikan dan kebenaran, apa yang akan dilakukan oleh masing-masing pihak dalam menentukan mana ibadah yang diyakini, itu akan menjadi tanggung jawabnya pribadi.


Posting Komentar

No Spam, Please.